Kamis, 01 Desember 2011
TELLUMPOCCOE
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Politik ekspansi yang dilakukan oleh raja Gowa I dan II, nampaknya diikuti oleh pengganti-penggantinya. Raja Gowa ke XI, I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta (1565), meneruskan ekspansi ayahnya memerangi Kerajaan Bone. Dalam peperangan itu ia terbunuh oleh pasukan Bone, dan pasukan Gowa yang mengawalnya mengundurkan diri dan lari kembali ke negerinya. Sang Raja yang ditemukan oleh pasukan Bone tergeletak tewas dalam pertempuran yang melelahkan. Para pemimpin pasukan Gowa mengundurkan diri dan lari bercerai berai.
Atas izin Raja Bone La Tenrirawe Bongkannge, dan mengikuti nasehat Kajao Laliddong, jenaza I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta dikembalikan ke Gowa dengan suatu upacara penghormatan. Satu iring-iringan kebesaran di bawah pimpinan empat orang pembesar terkemuka Kerajaan Bone, yaitu Arung Teko, Arung Biru, Arung Lamoncong, dan Arung Sanrego mengantar jenazah baginda ke Kerajaan Gowa.
Setelah masa berkabung, diadakan perundingan antara Raja Bone dengan pembesar-pembesar Kerajaan Gowa, yang dipimpin oleh Mangkubumi Kerajaan Gowa I Mappataka’tana Daeng Padulung. Perundingan ini mengahsilkan suatu kesepakatan perdamaian yang mengahsilakan “Ulukanaya (Cappae) ri Caleppa” (perjanjian di Caleppa). Perjanjian ini sangat menguntungkan Kerajaan Bone karena beberapa wilayah yang dikuasai Gowa dikembalikan ke Bone, di antaranya negeri-negeri yang terletak sampai ke Sungai Walanae di sebelah barat dan sampai daerah Ulaweng di sebelah Utara. Sungai Tangka yang berbatasan dengan Sinjai Bone, menjadi batas kekuasaan Bone dan Gowa. Di sebelah utara Sungai Walanae menjadi wilayah kekuasaan Bone dan di sebelah selatan menjadi wailayah kekuasaan Gowa. Cenrana di wilayah Luwu dikembalikan ke Bone.
Hubungan damai antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa hanya berlangsung sekitar 10 tahun. Ketegangan-ketegangan baru terjadi ketika Kerajaan Bone kelihatan memperkuat pertahanan dalam negeri, dengan cara memobilisasi kekuatan-kekuatan pertahanan di wilayah-wilayah perbatasan-nya. Wajo dan Soppeng yang selama ini setia kepada kerajaan Gowa mulai di usik, sehingga kedua kerajaan ini mendekatkan diri dengan Kerajaan Bone. Kerajaan Gowa terus melakukan tekanan-tekanan keras kepada Wajo dan Soppeng agar tetap setia kepada Kerajaan Gowa. Sekitar tahun 1578, Arung Pone La Tenrirawe Bongkannge, bersama Arung Matoa Wajo, La Mungkace Toudamang, serta Datu Soppeng La Mappaeppe’ Patolae, menyepakati suatu persekutuan tiga kerajaan, di kampung Banne dalam Wanua Timurung (Bone Utara), yang dikenal dengan “Lamumpatue ri Timurung” (Penanaman Batu di Timurung), atau biasa juga disebut Mattellumpoccoe atau Tellumpoccoe (Persekutuan Tiga Negara). Peristiwa ini menimbulkan kemurkaan Sombayya ri Gowa, dan mulailah disulut api peperangan ke pada ketiga kerajaan tersebut.
B.Permasalahan
1.Mengapa ketiga kerajaan (Bone, Wajo dan Soppeng) melakukan persekutuan.
2.Bagaimanakah proses terjadinya persekutuan ketiga Kerajaan tersebut?
3.Apakan tujuan dari dibentuknya persekutuan Tellumpoccoe.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Persekutuan Bone, Soppeng, dan Wajo.
Persekutuan yang melahirkan sebuah perjanjian dengan jelas membagi status pihak yang terlibat di dalamnya. Persekutuan boleh jadi disebabkan oleh adanya “asseajingeng” (bahasa : Bugis) yang dapat diterjemahkan “Persaudaraan”. Pada puncak hierarki asseajingeng adalah persekutuan pihak yang benar-benar sederajat, atau sebuah persekutuan dua atau lebih saudara yang sama besar (sederajat). Yang lebih lazim adalah persekutuan antara saudara yang kedudukanya tidak setara, di mana yang lebih tua disebut kakak, dan lebih lemah disebut adik.
Dalam perjanjian yang melibatkan Bone, Wajo dan Soppeng di Timurung pada abad ke-16, Bone dianggap yang tertua, Wajo dianggap yang tengah, dan Soppeng sebagai saudara muda (uluai Bone ana’tenngai Wajo, paccucunngi Soppen) (Noorduyn 1955:190 dalam Andaya 2004:136). Untuk menaikkkan status Soppeng menjadi saudaranya, maka Bone dan Wajo memberikan tanah. Kasus serupa pernah dilakukan oleh Kerajaan Luwu kepada Wajo sepaya layak disebut saudara. Biasanya pada awal persekutuan, pihak yang lemah memperlihatkan keenggangan untuk mengakui hubungan persaudaraan. Sebaliknya mereka meminta untuk memperlakukan sabagai anak oleh ibunya, karena inilah hubungan yang paling pantas dan benar-benar menggambarkan posisi mereka dalam hierarki negara-negara (Noorduyn 1955:190 dalam Andaya 2004:136).
Di bawah status padaworoane, atau saudara, adalah ibu dan anak kesayangan. Dalam hubungan seperti ini kerajaan atasan memberi kepada kerajaan bawahannya status lebih baik dibandingkan yang lainnya, karena memperoleh pengakuan akan pengabdian khususnya yang dilakukan untuk kerajaan atasan. Kadang-kadang pakaian yang pantas bagi to deceng (keturunan terhormat) diberikan sebagai tanda kesukaan. Status ibu dan anak merupakan tata aturan hubungan dengan kerajaan bawahan. Tata aturan ini diciptakan lewat kekerasan maupun persetujuan. Dalam kasus yang muncul kemudian, sebuah negara mencari perlindungan dari negara lain dan dengan itu memperoleh status bawahan yang lebih baik ketimbang kerajaan yang ditaklukkan. Namun demikian Kerajaan bawahan yang diberi perlindungan masih berada di bawah kedudukan negara anak kesayangannya.
Dasar hierarki hubungan antar kerajaan adalah hubungan antara tuan dan budak. Kerajaan bawahan yang berperang melawan kerajaan atasannya dan berhasil dikalahkan, maka kerajaan bawahan akan kehilangan hak-haknya dan terperosok ke posisi budak, dan harus berada di bawah kekuasaan mutlak tuannya. Sekalipun demikian mereka tetap mempertahankan penguasa, adat dan bicara-nya.
Unsur-unsur spiritual dalam perjanjian seringkali menempati posisi yang sama pentingnya dengan politik bagi kerajaan-kerajaan. Sebuah perjanjian disetujui dua pihak, kemudian disalin dan disimpan bersama dengan pusaka kerajaan. Keseluruhan kumpulan perjanjian menjadi sejenis benda pelindung kerajaan karena dia merupakan gudang kata-kata sakral yang disumpahkan dengan hikmat oleh beberapa generasi penguasa. Seorang penguasa biasanya menuju attoriolong (tempat pemujaan) untuk memohon bantuan leluhur dan meminta petunjuk dalam perjanjian tentang cara-cara mengatur dan melestarikan negerinya. Ketika seorang penguasa mengucap-kan sumpah untuk mematuhi atau memperbaharui sebuah perjanjian, bukanlah perkara ringan, karena melibatkan generansi sebelumnya, masanya, dan sesudahnya. Dia tidak boleh menolak sebuah perjanjian kecuali disepakati oleh seluruh pihak, kalau tidak maka hal itu merupakan pengingkaran terhadap leluhur mereka, dia hanya akan mengizinkan perjanjian itu diganti dengan yang lain atau ditunda sampai keadaan membawanya ketempat yang seharusnya.
Ketika perjanjian Tellumpoccoe telah disepakati, maka akan menjadi persetujuan permanen yang dapat dimunculkan kembali dan diperbaharui, atau mundur di latar belakang ketika berhadapan dengan kekuatan politik atau spiritual yang lebih besar. Dokumen Perajanjian Tellumpoccoe hanya dibuat sekali. Seluruh perjanjian yang muncul sesudahnya disebut dalam catatan hanya sebagai pembaharuan (riberui) dari perjanjian asli. Secara faktual merupakan sebuah pengakuan dan penegasan dari sebuah kerajaan terhadap status politik dan spiritual baru kerajaan lain. Perjanjian, sumpah, dan seluruh prosedur pembuatannya adalah bagian dari proses berlanjut untuk terus menaksir pertalian politik dan spiritual agar dapat menjamin terwujudnya hierarki kerajaan-kerajaan yang secara akurat mencerminkan situasi kekuasan ketiga kerajaan Tellumpoccoe.
B.Prose Terjadinya Persekutuan Tellumpoccoe
Hegemoni kekusaan kerajaan Gowa semakin menjadi-jadi dengan melakukan perluasan wilayah dengan mencaplok wilayah kerajaan-kerajan sekitarnya, baik melalui perjanjian maupun melalui perang, termasuk Kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo menjadi sasaran untuk dapat dikuasainya. Perluasan wilayah terus dilakukan, Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) bersama Mangkubumi Kerajaan Gowa/Raja Tallo I Mappataka’tana Daeng Padulung terus memperluas wilayah dan pengaruh kerjaan Gowa. Lamuru, Cenrana, Salo’mekko, Bulo-Bulo, Lamatti, Kajang, Bulukumba, Pannyikokang, Wero (Hero), Gattarang, Otteng, Wajo, Sawitto, Alitta ditaklukkan Gowa. Bone dikepung baik dari darat maupun dari laut. Untuk memperkuat posisinya di sebelah selatan, maka kerajaan Gowa menjadikan Salo’mekko, Bulo-Bulo dan Lamatti sebagai negeri palili’ (bawahan otonom).
Upaya pengepungan Kerajaan Bone dipandang sudah kuat, maka Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng atas kesepakatan Bate Salapanga, memaklumkan perang terhadap Kerajaan Bone. Raja Bone pada masa itu adalah Arumpone La Tenrirawe Bonkannge (1560-1578). Perang ini berlangsung selama + 10 tahun (1558-1565) tampa ada hasil yang menentukan siapa pemenangnya. Pada tahun 1565 Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng meninggal. Penggantinya I Tajibarani Daeng Marompa menjadi Raja Gowa ke-11. Duapuluh hari setelah pelantikannya, beliau berangkat ke medang perang di Kerajaan Bone dengan tujuan untuk menaklukkan Kerajaan Bone. Tetapi ajal baginya, beliau tewas dalam perang di Bone (1565). Maka beliau diberi gelar Anumerta “Tu-nibatta”. Gowa menerima kekalahan atas perang itu dan dicapai suatu perjanjian yang disebut Cappae ri Caleppa. Dalam perjanjian itu ditetapkan batas-batas daerah kekuasaan Kerajaan Gowa, antara lain :
1.Gowa mengembalikan ke Bone negeri-negeri yang terletak di daerah lembah sungai Walanae sampai batas Barat dan berbatas pada negeri Ulaweng di sebelah Timur.
2.Daerah sebelah utara sungai Tangka, menjadi daerah kekuasaan Bone, dan sebelah selatan Sungai Tangka tetap di bawah kekuasaan Gowa.
3.Gowa mengembalikan Cenrana kepada Bone (Mattulada 1998 : 97).
Cappae ri Caleppa ini dapat membawa perdamaian sementara, terutama juga disebabkan oleh pengangkatan Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa (+ 1565-1590) adalah sahabat Arumpone La Tenri Rawe Bongkannge. I Manggorai pernah tinggal di Bone dan mendapat perlindungan dari Arumpone, karena membuat kesalahan di Gowa. Cappae ri Caleppa hanya belangsung sekitar 10 tahun, muncullah kembali berbagai tekanan dari Kerajaan Gowa atas Kerajaan Bone. Kerajaan Bone menghadapi banyak perlawanan dan serangan dari Kerajaan Gowa bersama sekutu-sekutunya. Kerajaan Gowa berusaha kembali merebut Cenrana dari Kerajaan Bone. Di sisi lain, Datu Luwu yang bernama Sanggaria mengerah-kan pasukan untuk merebut kembali Cenrana yang tadinya merupakan wilayah tertorial Kerajaan Luwu, tetapi gagal, sehingga Cenrana tetap berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bone.
Sekalipun Raja Bone ke-7 La Tenrirawe Bongkannge, selalu memenangkan perang, baik terhadap Kerajaan Gowa maupun Kerajaan Luwu. Beliau tetap waspada dan selalu berusaha memperkuat diri, dengan menjalin persahabatan dengan Wajo, Soppeng dan Tellu Limpoe (Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti) yang masih berada dalam pengaruh Kerajaan Gowa. Dengan Wajo dan Soppeng, Kerajaan Bone menjalin persekutuan Tellu-Boccoe yang disebutnya “Mattelumpoccoe” bardasarkan perjanjian Lamumpatue ri Timurung (1578) yang dilaksanakan oleh tiga penguasa Arungpone La Tenrirawe Bongkannge, bersama Arung Matoa Wajo, La Mungkace Toudamang, serta Datu Soppeng La Mappaleppe’ Patolae.
Dalam perjanjian Lamumpatue ri Timurung, Soppeng mengemukakan kekurangannya sehingga tidak patut menjadi saudara bungsu. Wajo juga mengemukakan keberatannya, sebab Wajo belum bebas dari pengabdiannya terhadap Kerajaan Gowa, oleh karena pembebasan itu hanya dihadiakan oleh Kerajaan Gowa dan bukan Wajo yang memerdekakan dirinya. Bone menjawab, bahwa Wajo telah merdeka sejak ia mengalahkan Bulo-Bulo, maka Wajo hanya berkeluarga dengan Gowa, dan apabila Gowa masih ingin menjajah Wajo, maka ketiga kerajaan bersaudara akan melawannya. Kerajaan Bone dan Wajo memberikan beberapa daerah, sehingga Soppeng merasa patut seayah dan seibu dengan Bone dan Wajo.
C.Tujuan Persekutuan
Perjanjian Lamumpatue ri Timurung bukanlah alat penindasan melain-kan untuk mewujudkan hubungan yang pantas dan damai antara kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng. Pada perinsipnya perjanjian ini bertujuan adalah untuk menentang tekanan-tekanan kemungkinan akan adanya invasi dari Kerajaan Gowa. Dalam wilayah diplomatik perjanjian ini sama dengan konsep siri’ (malu) dalam kaitannya dengan peribadi. Memiliki siri’ adalah mengetahui diri sediri dan luluhur, atau dengan kata lain mengetahui kedudukan dan tempat di dalam masyarakat. Kemanjuran perjanjian Lamumpatue ri Timurung terletak pada diterimanya secara universal oleh ketiga kerajaan tersebut, hal ini dikarenakan fungsi hukumnya yang dapat menjaga harmoni dalam masyarakat. Dengan menetapkan sebuah hierarki kerajaan-kerajaan yang terlibat dalam perjanjian Lamumpatue ri Timurung, sebuah kerajaan akan meminta perlindungan dan menghindari konflik yang tidak perlu. Dalam salah satu lontara’ Bugis, seorang penguasa menasehati tentaranya “janganlah berlebihan dalam bertempur sehingga perundingan nantinya tidak sulit”(Andaya 2004 : 139). Menaklukan sebuah wilayah atau menguasai sejumlah populasi bukanlah tujuan akhir dari peperangan di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, melainkan berusaha mencari pengaku-an sebuah kerajaan akan posisi pantasnya di dalam hiraraki antara kerajaan. Maka perjanjian Lamumpatue ri Timurung ini merupakan bentuk sebuah kebersamaan untuk menanggung segala resiko dalam rangka masseddi siri’ (mempersatukan harkat dan martabat diri) sebagai tumaradeka (orang merdeka).
Ketika salah satu di antara ketiga kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe menyadari bahwa perjanjian Lamumpatue ri Timurung dilanggar, berarti sebuah penolakan terhadap kata-kata sumpah yang diucapkan oleh leluhur yang membuat perjanjian. Status dan harga diri kerajaan dianggap telah diragukan, dan satu-satunya tindakan yang pantas diberikan adalah mempertahankan perjanjian itu. Jika jalan damai tidak tercapai, maka jalan lain adalah bertempur untuk mempertahankan kepercayaan terhadap kedudukan dalam hierarki kerajaan-kerajaan.
BAB III
P E N U T U P
A.Kesimpulan
1.Persekutuan Kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo merupakan sebuah bentuk kesepahaman di antara ketiga kerajaan tersebut untuk mendudukan kesejajaran mereka dalam hierarki kenegaraan. Kerajaan Bone dianggap sebagai yang tertua mempunyai kewajiban untuk melindungi Soppeng dan Wajo dari rongrongan kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya.
2.Proses terjadinya pesekutuan Tellumpoccoe berawal dari hegemoni kekuasaan kerjaan Gowa terhadap kerajaan-kerajaan sekitarnya, yang membuat Kerajaan Bone terancam kestabilannya. Perang yang dikobarkan oleh kerajaan Gowa terhadap kerajaan Bone, membuat Arung Pone La Tenrirawe Bongkannge menjalin persahabatan dengan Kerajaan Soppeng dan Kerajaan Wajo dengan menyepakati sebuah perjanjian Lamumpatue ri Timurung.
3.Dengan disepakatinya Lamumpatue ri Timurung, maka ketiga kerajaan ini masuk dalam kesejajaran dan sederajat dengan nama Tellu-Boccoe atau biasa juga disebut Tellumpoccoe. Dengan masuknya kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo dalam persekutuan Tellumpoccoe, maka ketiga kerjaan itu mempersatukan diri untuk mengangkat harkat dan martabat dirinya (massedi siri’) sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat penuh.
B.Saran-Saran
Setelah membaca uraian tersebut diatas maka disarankan kepada pembaca kiranya marilah kita bersama-sama mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara dengan melihat kearifan lokal. Nilai-nilai lokal seperti Lamumpatue ri Timurung yang melahirkan sebuah persekutuan tiga kerajaan yang disebut sebagai Tellumpoccoe patut dijadikan sebagai acuan untuk merekatkan seluruh elemen masyarakat sehingga tercipta suatu negara yang kokoh, kuat dan tangguh, sehingga bangsa-bangsa lain segan terhadap negara kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal. 1985. Wajo Abad XV-XVI; Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan.Bandung : Alumni.
Abidin, Andi Zainal. 1999. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan.Ujung Pandang : Hasanuddin University Press.
Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka; Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar : Ininnawa.
Dg. Mattata, H. Moh. Sanusi. 1962. Luwu Dalam Revolusi. Makassar : Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu.
Marzuki, H.M. Laica. 1995. Siri'; Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar. Ujung Pandang : Hasanuddin University Press.
Mattulada, A. 1995. Latoa; Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung Pandang : Hasanuddin University Press.
--------------1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang : Hasanuddin University Press.
Patunru, Abdurrazak Daeng, dkk. 1989. Sejarah Bone. Ujung Pandang : Walanae.
Poelinggomang, Edward L, dkk. 2004. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. Makassar : Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan.
Poesponegoro, Marwati Djoened, dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern; 1200-2008. Jakarta : Serambi.
Sejarah Sosial
SEJARAH SOSIAL
A.Pendahuluan
Sejarah sosial adalah kajian peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Perubahan-perubahan itu membawa corak dan warna sendiri yang dapat menentukan kelangsungan dari sistem sosial yang sudah ada. Jika dilihat dari perspektif modernisasi, perubahan sosial merupakan representatif dari akulturasi, seleksi dan diferensiasi, perubahan dari yang tidak bertautan ke yang bertautan, transformasi struktural yang integratif dan disintegratif, perubahan jaringan sosial dan perubahan gejala sosial (Pranoto. 2010 : 68).
Untuk memahami paradigma perubahan sosial diperlukan teori evolusi gerakan masyarakat yang unilinear menuju gerak progresif, siklus, teologis, dialektis, dan adaptif. Paradigma perubahan sosial mengikuti teori sistem, funsionalisme, dan empiris-positivisme.
B.Sejarah Sosial
Perhatian utama dari sejarah sosial adalah bagaimana masyarakat mempertahankan dirinya, mengatur hubungan sesamanya, dan bagaimana pula memecahkan masalah dalam berhadapan dengan lingkungan alamiah dan sosial. Bukanlah untaian dan tindakan-tindakan para aktor sejarah yang terlalu dipentingkan, tetapi pola dari perilaku itu. Bagaimana kaitan antara perilaku yang menghasilkan peristiwa, yang merupakan bahan cerita sejarah dengan situasi sosial yang mengitarinya (Taufik Abdullah, dalam Agus Mulyana. 2009 : 132).
Sejarawan sosial Inggris, Trevelyan dalam karyanya English Social History, menggambarkan kehidupan masyarakat tampa aspek politik. Lahirnya ilmu sosial pada abad ke-20 adalah reaksi terhadap dominasi sejarah politik. Selanjutnya Marc Boloch dan Lucien Febvre dari Perancis merintis penulisan sejarah sosial Feudal Social dalam majalah Annales yang kemudian menjadi madzabnya.
Struktur sosial masyarakat perlu mendapat perhatian dalam membahas sejarah sosial. Lapisan masyarakat kota dan desa dicermati untuk melihat golongan-golongan sosial yang beragam seperti elit, bangsawan, pedagang, buruh, petani, dan seniman, golongan yang termarjinalkan seperti; golongan miskin, gelandangan, dan penjahat. Di sisi lain, dalam kehidupan sosial masyarakat ada yang bergaya hidup mewah dan konsumtif seperti yang ditunjukkan dalam arsitektur rumahnya, pakaian, kegemaran, kendaraan dan seni sastranya. Semua ini menunjukkan latar belakang kehidupan sosial ekonominya.
Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kesatuan fisik, tetapi seperangkat proses yang saling terkait satu sama lain. Masyarakat ada setiap saat dari masa lalu ke masa mendatang. Kehadirannya justru melalui tahap antara apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bekal, dan jiplakan masa lalu serta bibit dan potensi untuk masa depan.
Prof. Sartono Kartodirdjo menyatakan bahwa masyarakat dikonsepsi-kan sebagai sistem yang mempunyai fungsi adaptasi, integrasi, pertahanan diri, dan tujuan. Kerangka sosial itu sesuai untuk memahami perkembangan dan perubahan sosial terutama situasi yang berkembang setelah Perang Dunia II. Kerusakan di berbagai bidang memerlukan sebuah kajian yang diprogramkan oleh ilmuan sosial.
Sejarah sosial mempunyai bahan garapan yang sangat luas dan beraneka ragam. Kebanyakan sejarah sosial juga mempunyai hubungan dengan sejarah ekonomi, sejarah politik, dan bidang-bidang lain. Contoh sejarah sosial ekonomi, yang membahas tentang kemiskinan rakyat Indonesia pada masa penjajahan kolonial Belanda, ternyata merupakan dampak dari kebijakan pemerintah kolonial berupa tanam paksa. Hal ini berarti “waktu” tetap memegang peranan dalam penulisan sejarah. Ketika suatu tulisan tidak memuat unsur waktu maka tulisan tersebut tidak layak dikategorikan sebagai tulisan sejarah.
Sebagai contoh dari sejarah sosial adalah desertasi dari Prof. Sartono Kardirdjo yang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888. Dalam menganalisis pemberontakan petani Banten tahun 1888, Sartono mengawali dengan pertanyaan pokok, yaitu dari lapisan manakah peserta gerakan itu diangkat di gerakkan? Dari lapisan mana para pemimpinnya? Bagaimana kedudukan sosial-ekonomi mereka pada umumnya? (Sartono Kartodirdjo, 1984 : x).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Sartono kemudian mengkaji pemberontakan petani Banten dengan melihat struktur. Untuk menjelaskan peristiwa tersebut, maka digunakan alat bantu dan teori-teori ilmu sosial. Dengan demikian model penulisan sejarah ini memperlihatkan sebagai suatu penulisan sejarah ilmiah. Bahkan dapat dikatakan bahwa karya ini merupakan model penulisan sejarah ilmiah yang pertama kali di Indonesia.
Pendekatan dalam menganalisis peristiwa sejarah merupakan pendekat-an yang dilakukan oleh aliran Annales School. Aliran ini berawal dari sekelompok sejarawan di Perancis yang menerbitkan suatu jurnal ilmiah yang bernama Annales: economies, societes, civilization, yang didirikan oleh Lucien Febre dan Marc Bloch pada tahun 1929. Karakteristik pemikiran aliran ini menyatakan bahwa sejarawan dalam penulisannya harus mengurangi penekanan kebiasaan naratif khususnya yang bersifat politik, kejadian atau peristiwa yang bersifat koronologis, dan harus lebih banyak menekankan pada analisis, struktur dan kecenderungan. Kelompok ini juga percaya bahwa pendekatan sejarah dari aspek ekonomi, sosial kultural dan politik harus diintegrasikan ke dalam “Sejarah Total” sehingga sejarawan membutuhkan bantuan ilmu-ilmu sosial.
Teori yang digunakan dalam menjelaskan pemberontakan “Theory of Colective Behavior” yang dikemukakan oleh Neil J. Smelser. Dalam hal ini pemberontakan diartikan sebagai perilaku kolektif. Menurut Smelser perilaku kolektif adalah tingkah laku yang bertujuan mengubah lingkungan sosial, yang didasarkan pada keyakinan tertentu bahwa situasi perlu dan dapat dirubah.
Sartono dalam melihat faktor penyebab pemberontakan petani Banten sebagai suatu determinan penyebab yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Untuk mencari determinan-determinan penyebab pemberontak-an, terlebih dahulu melihat kondisi sosial ekonomi Banten pada awal abad ke XIX. Walaupun Banten merupakan suatu wilayah yang dikelilingi oleh pantai, akan tetapi faktor agrarispun menjadi aset ekonomi yang penting bagi kerajaan. Sebagaimana lazimnya negara agraris, faktor tanah merupakan faktor yang penting bagi kesejahteraan penduduknya.
Di Banten pada masa itu terdapat tanah yang dianugrahkan oleh Sultan yang dinamakan sawah ganjaran. Istilah ini bisa berbeda-beda sesuai dengan orang yang menerima hadiah. Jika tanah itu diberikan kepada anak Sultan dari istri-istrinya yang syah disebut kawargaan, tanah yang diberikan kepada anak-anak sultan dari selirnya atau kepada orang-orang kesayangan Sultan disebut kanayakan, sedangkan tanah yang dihadiahkan kepada pejabat-pejabat yang selama masa jabatannya disebut pangawulaan.
Pada masa Daendels 1808 pemilikan tanah Sultan dihapuskan, sedangkan pada masa Raffles tanah pusaka dipungut pajak dalam bentuk sewah tanah. Mereka yang memiliki tanah pusaka tersebut mendapat ganti rugi. Kebijakan ini tidak memberikan kepuasan terhadap anggota kerabat dan pejabat-pejabat Sultan, karena banyak dikorupsi oleh para pamongpraja.
Kedudukan petani atau rakyat biasa pada masa kesultanan banyak menyerahkan tenaganya untuk bekerja pada tanah-tanah pusaka, menjadi pelayan rumah tangga dengan status abdi. Bahkan para abdi banyak yang mengerjakan fasiltas umum, seperti pembuatan jalan. Setelah kesultanan dihapuskan pada tahun 1810, hak-hak dan kewajiban para petani tidak berubah. Bahkan para petani ini banyak yang dipekerjakan secara paksa pada tanah-tanah yang dimiliki oleh para Arsitokrat. Keadaan seperti ini menjadi beban penderitaan bagi petani.
Perubahan-perubahan kondisi sosial lebih banyak diakibatkan oleh panetrasi sosial barat yang kemudian diterapkan pada adminstrasi pemerin-tahan. Perubahan pola administrasi dari tradisonal ke modern ini banyak menimbulkan sumber konflik. Mekanisme administrasi pemerintahan kolonial yang berdasarkan pada model barat dan mengubah sebagian dari personil Sultan atau anggota-anggota keluarga menjadi birokrat-birokrat.
Pada awalnya pemerintah kolonial merekrut pejabat-pejabat pemerintahan dari golongan bangsawan, dengan harapan dapat memudahkan hubungan dengan rakyat. Akan tetapi cara seperti ini tidak efektif karena sering terjadi korupsi. Kemudian Pemerintahan Kolonial mengubah kebijakan dengan cara merekrut mereka yang benar-benar profesional dalam pemerintahan yang didasarkan pada perorangan. Perubahan kebijakan ini menimbulkan suatu konflik antara kaum bangsawan yang lama terhadap pemerintahan kolonial. Selain itu pula semakin meningkatnya pengawasan politik oleh pihak Belada telah menimbulkan rasa tersingkir dan frustasi yang mendalam di kalangan kaum elit agama dan golongan bangsawan yang tersingkir. Contoh yang diperlihatkan dengan tampilnya Kyai Haji Tubagus Ismail sebagai bangsawan Banten yang bersama-sama pemimpin agama memimpin pemberontakan. Hal ini merupakan gambaran terhadap kondisi konflik yang menimbulkan ketegangan antara elite politik dan elite agama terhadap penjajah.
Dalam suatu pemberontakan biasanya terdapat suatu sistem nilai yang turut memberikan semangat secara spiritual terhadap meledaknya pem-berontakan. Dalam kasus pemberontakan petani Banten, terdapat determinan penyebab dengan timbulnya semangat “Perang Sabil”. Ambruknya tatanan sosial kesultanan akibat panetrasi kolonial mengakibatkan timbulnya cita-cita masyarakat untuk membangun kembali tatanan lama yang telah ambruk dalam bentuk harapan akan datangnya Imam Mahdi. Perang Jihad sebagai upaya untuk membangun Dar al-Islam dalam manifestasi kesultanan lama.
Pengawasan yang ketat terhadap sikap para elite agama oleh pemerintah kolonial, tidaklah memudarkan semangat keagamaan para elite agama. Di antara para elite pemimpin keagamaan sering melakukan pertemuan-pertemuan informal untuk membahas rencana pemberontakan, misalnya melalui pernikahan, sunatan dan walimah lainnya. Pertemuan informal elite agama tersebut merupakan indikator bahwa pemerintah kolonial kurang melakukan kontrol sosial terhadap pertemuan-pertemuan para elite agama tersebut yang membicarakan persiapan pemberontakan.
C.Penutup
Perubahan sosial yang terajadi bukanlah keadaan yang tetap, tetapi merupakan proses dinamis. Waktu adalah faktor internal yang tetap ada dalam kehidupan sosial. Perubahan sosial merupakan pertemuan berbagai proses dengan berbagai faktor, yang sebagian tumpah tindih, sebagian menguatkan, sebagian memisahkan, sebagian lagi saling mendukung atau saling merusak. Keadaan masyarakat selalu merupakan titik persilangan konkret dari berbagai proses yang berbeda, heterogen, dan multi arah. Masyarakat yang mengalami perubahan tidak dilihat sebagai satu kesatuan, obyek atau sistem, tatapi seorang sejarawan harus melihat sebagai jaringan hubungan yang berubah-ubah, meliputi ketegangan maupun keselarasan, konflik, maupun kerjasama.
Rentetan kejadian dalam setiap proses sosial dilihat secara kumulatif. Setiap tahap prose sosial dilihat sebagai hasil dan pengaruh kumulatif dan kristalisasi, sebagai titik temu seluruh tahap terdahulu, dan sekaligus sebagai pangkal tolak tahap berikutnya. Di setiap momen historis terbuka kemungkinan bagi kelangsungan proses berikutnya namun sangat dibatasi oleh keseluruhan proses yang berlangsung sebelumnya.
Buku Rujukan :
Gardine, Juliet. 1988. What Is History Today ...? Macmillan Education Ltd.
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta : PT. Gramedia.
-------1984. Pemberontakan Petani Banten 1888; Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya.
Mulyana, Agsu & Darmiasti. 2009. Historiografi Indonesia, dari Magis-Relijius Hingga Strukturis. Bandung : PT. Refika Aditama.
Pranoto, Suhartono W. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 1991. Seminar Sejarah Nasional IV; Sub Tema Historiografi. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Soedjatmiko, dkk. 1995. Historiografi Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Historiografi
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau tentunya ada yang penting untuk dibahas, ada pula yang tidak. Sebuah peristiwa disebut penting bila kemudian peristiwa itu cukup berpengaruh terhadap masa selanjutnya. Bisa saja peristiwa penting tersebut pada waktu kejadiannya tidaklah begitu penting, namun setelah peristiwa tersebut berlalu barulah dirasakan pengaruhnya terhadap kehidupan di masa berikutnya. Berkenaan dengan konsep sejarah sebagai peristiwa maka kita kita akan membicarakan tentang kejadian, kenyataan, aktualitas yang telah terjadi atau berlangsung pada masa yang lampau.
Historiografi tidak terlepas dari data-data yang mendukung guna penulisan sejarah. Historiografi merupakan usaha pendataan sumber-sumber yang telah tersedia terhadap kajian-kajian kritis yang ada. Metode-metode dan pendekatan-pendekatan yang di dapat atau telah terbukti di manfaatkan untuk mempelajari bahan-bahan dan terhadap masalah teoritis yang berkaitan dengan penulisan sejarah.
Kesatuan koheren inilah yang menimbulkan keutuhan bangunan sejarah. Sejarah adalah konstruksi yang saling berkaitan satu sama lain. Unsur determinan dalam aspek kausalitas sejarah selalu mendapat dukungan dari formal causa dan final causa. Sejarawan selalu bekerja dengan dokumen, yakni data dan fakta yang valid. Tidak ada dokumen berarti tidak ada sejarawan, dan selanjutnya tidak ada sejarah sebagai satu kesatuan yang utuh. Value atau nilai sangat bergantung dari dokumen yang digunakan.
B.Permasalahan
Permasalahan pokok yang dibahas dalam makalah ini, adalah perkembangan historiografi Indonesia yang ditinjau dari kondisi sejarah masa lampau Indonesia dengan berbagai metode sejarah yang akan dipaparkan. Oleh karena itu maka pembahasan hitoriografi Indonesia, akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan utama berikut ini :
1.Bagaimanakah bentuk penafsiran sejarah pada masa lampau?
2.Bagaimanakah cara yang benar menganalisa dan menginterpretasi sejarah dengan empat langkah metodologi sejarah terhadap penulisan sejarah masa lalu dan sejarah kontemporer?
3.Bagaimana sistematikan penulisan sejarah untuk periode sejarah kontinum terutama untuk fase yang tidak ada sumbernya bahkan tidak dapat ditemukan?
4.Dalam kondisi apa sejarah Indonesia cenderung memberikan catatan tentang adanya misianistis seperti ratu adil, seni budaya dan gerakan sosial!
BAB II
PEMBAHASAN
A.Bentuk penafsiran sejarah pada masa lampau
Untuk menghasilkan cerita sejarah, fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterpretasikan (ditafsirkan). Interpretasi tau tafsir sebenarnya sangat individual, maksudnya siapa saja dapat menafsirkan. Seperti peribahasa “lain lubuk lain ikannya, lain kampung lain adatnya, maksudnya bisa saja data sama tetapi penafsiran terhadap data tersebut berbeda. Hal itu tergantung dari perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir dan tujuan. Interpretasi sangat subyektif, tergantung dari pribadi masing-masing.
Untuk memeriksa suatu fenomena historis seorang sejarawan harus berhubungan dengan fakta-fakta sejarah. Baik pada analisa maupun pada sintese historis. Fakta-fakta tidak dapat berbicara sendiri dan mempunyai sifat yang sengat kompleks. Fakta-fakta sebagai suatu konstruksi konseptual mengandung beberapa kerangka pembuktian, baik berupa postulat-postulat, hipotesa-hipotesa ataupun teori-teori (Sartono Kartodirdjo, 1982 : 63)
Sejarah dari penulisan sejarah (historiografi) akan dapat menyoroti isi filosofis teoritis dari penelitian dan penulisan sejarah, membuka metode penggarapan bahan sejarah dan persentasi, ide-ide yang mengikat fakta-fakta sebagai kesatuan yang bermakna, cara menilai dan menginterpretasikan, dan yang sangat penting adalah pandangan hidup sipenulis (sejarawan). Penulisan sejarah (historiografi) berbeda-beda menurut negerinya, masanya, dan kepribadian dari sejarawan. Mempelajari sejarah dari penulisan sejarah (historiografi) itu tidak mengutamakan segi-segi isi faktual dan proses sejarah, tetapi lebih memusatkan perhatian terhadap pikiran-pikiran sejarah dalam hal kultural, sehingga mem-pertinggi kemampuan kita membuat pandangan dan perbaikan serta penilaian artinya (Sartono Kartodirdjo, 1982:15). Kemudian yang jelas juga adalah bahwa hal itu akan membuat sejarawan lebih kritis terhadap dirinya sendiri dan lebih memberi kemungkinan untuk mengobyektivitaskan penulisannya. Dengan senantiasa mengingat praktek sejarawan dalam masa yang lampau kita dapat memandang perkembangan historiografi dengan cara pandang yang benar dan tepat, sehingga akan dapat kita tentukan derajat kesadaran diri dari sejarawan.
Dalam perkembangan penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia, beberapa corak historiografi cukup menonjol, yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial dan historiografi nasional. Historiografi tradisional cenderung masih didominasi oleh aspek magis religius dan oknum pengkisahnya tidak selalu diketahui secara pasti, kisah sejarah dalam masyarakat pada masa itu adalah milik kolektif. Hal ini membuktikan bahwa “historiografi adalah ekspresi kultural dan pantulan keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang menghasilkan-nya. Hal itu tidak berarti mengingkari bahwa karya sejarah merupakan hasil rekonstruksi sejarawan. Penghayatan kultural terhadap masyarakat menuntut masyarakat untuk membuat rekonstruksi kisah yang dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa mereka berada.
Historiografi kolonial menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politis, ekonomis, dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara logis dari situasi kolonial dimana penulisan sejarah terutama mewujudkan sejarah dari golongan yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitos dari dominasi itu, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan penjajahan masyarakat serta kebudayaannya. Sejarah perang kolonial menguraikan pelbagai operasi militer secara mendetail, sedang bangsa Indonesia hanya disebut sebagai objek dari aksi militer Belanda, tidak diterangkan organisasi intern dari pemberontakan siapa, dan termasuk golongan apakah pemberontak itu, serta apakah yang sesungguhnya menjadi tujuannya.
Suatu periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah yang kritis. Perkembangan metode sejarah ilmiah di Indonesia sebenarnya tidak langsung terjadi dalam bidang sejarah sendiri. Untuk dapat melakukan kritik terhadap sumber-sumber sejarah diperlukan ilmu bantu. Karya Husein Djajadiningrat, Critische Beschouwingen Van De Sejarah Banten merupakan hasil studi yang menggunakan suatu karya historiografi tradisional sebagai obyek sekaligus sebagai sumber sejarah. Beliau dapat dicatat sebagai putra Indonesia pertama yang menggunakan prinsip-prinsip metode kritis sejarah. Dan setelah proklamasi, terdapat upaya yang dominan untuk melihat sejarah dari aspek nasional, memandang sejarah dari masyarakat Indonesia sendiri. Sebagai konsekuensi dari pantulan kesadaran kultural, maka wajar bila historiografi yang berkembang adalah sejarah ideologis. Suatu sejarah yang menanamkan suatu nilai-nilai terutama semangat nasionalisme, heroisme, dan patriotisme. Dalam perkembangaannya historiografi Indonesia modern, dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Pada seminar tersebut membahas tiga hal yang dianggap sangat penting ketika itu, hal tersebut antara lain filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Perdebatan berlanjut sampai pada tahun 1970. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah. Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, kelompok yang sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis, tetapi kenyataannya mereka mungkin yang paling sedikit berproduksi.
B.Cara yang benar mengnalisa dan menginterpretasi sejarah
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki peradaban yang cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan dari masa lampau yang sangat menkajubkan. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mewarisi peradaban yang luhur untuk dipelajari sebagai ilmu pengetahuan. Beberapa warisan tesebut dapat dilihat hingga kini seperti Candi Borobudur yang dibangun pada masa Mataram kuno, Situs Trowulan yang diperkirakan berasal pada masa Majapahit abad 14, hingga beberapa prasasti dan teks-teks kuno. Melihat peninggalan masa lampau yang begitu banyak maka diperlukanlah suatu ilmu yang dapat merekonstruksi peristiwa masa lampau. Ilmu tersebut ialah ilmu Sejarah.
Ilmu sejarah yang kita kenal merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau, namun bukan berarti sejarah hanya berpijak dimasa lampau saja, namun sejarah juga berpijak dimasa depan. Sebagai ilmu pengetahuan, maka sejarah pun memiliki perkembangan, terutama dari segi penulisan. Penulisan sejarah atau Historiografi ternyata berkembang dari masa ke masa. Historiografi pun berkembang sejak jaman kemerdekaan. Menurut Sartono Kartodirdjo, penulisan sejarah Indonesia berkembang dari berbagai cakrawala diantaranya dari religio kosmoginis ke sejarah kritis, dari etnocentrism ke natiocentris, dari kolonial elitis ke sejarah Indonesia secara keseluruhan.
Ilmu sejarah memiliki tahap-tahap kritis dalam perkembangannya manakala muncul pemahaman yang dikenal dengan posmodernisme. Mereka yang termasuk dalam peham ini ialah Derrida, Lyotard. Foucault, yang dianggap hanya membongkar-bongkar tatanan dan menihilkan segala hal. R.Z. Leirissa menganggap bahwa kaum posmodernisme ini sudah terlalu berbahaya dalam mengkritik ilmu sejarah karena posmo berpandangan negatif terhadap fakta, objektivitas dan kebenaran yang menjadi pokok kajian sejarah.
Kaum posmo ini selalu meragukan tentang penulisan sejarah itu apakah benar atau tidak. Mereka bahkan menganggap bahwa sejarah hanyalah permainan kata-kata yang ditulis oleh sejarawan seperti kata-kata “revolusi”, “Pemberontakan”, dan lain-lain. Mereka ini terpengaruh pada pemikiran kaum skeptis yang selalu ragu-ragu terhadap segala hal yang berasal dari pemikiran manusia.
Kritik yang ditunjukkan oleh kaum posmodernisme ini menjadi cambuk bagi para sejarawan agar dapat mengembangkan ilmu sejarah ke arah yang lebih baik untuk memecahkan permasalahan-permasalahan sosial. Selama ini Historiografi Indonesia dilakukan dengan metode naratif dimana kisah sejarah ditulis bukan berdasarakan pada permasalahan namun bertumpu pada urutan waktu dan kejadian-kejadian yang unik. Metode naratif ini sudah lama ditulis oeh para sejarawan sehingga sejarah terkesan sebagai cerita dongeng daripada ilmu pengetahuan. Penulisan sejarah yang seperti ini menjadi celah bagi kaum posmodernisme untuk menyudutkan ilmu sejarah. Dalam menangkal kaum posmodernisme maka dibutuhknlah penulisan sejarah yang bertumpu dengan pendekatan multidimensional dan sedikit demi sedikit meninggalkan metode naratif.
Metode multidimensional dapat dijuga disebut dengan metode developmentalisme, yang akan melihat pola-pola perkembangan, kelangsungan serta perubahan. Pendekatan multidimensional ini dipelopori oleh Sartono Kartodirdjo dengan disertasinya yang berjudul Pemberontkan Petani Banten 1888. Sartono menekankan bahwa jika ilmu sejarah ingin berkembang maka sejarah harus melakukan pendekatan multidimensional dengan bantuan ilmu-ilmu sosial yang terus berkembang secara dinamis. Pendekatan yang dilakukan Sartono ini nampaknya merupakan sebuah pendekatan yang akan memberikan peran lebih terhadap ilmu-ilmu sosial dalam membantu memcahkan permasalahan pada masa lampau. Dalam menggunakan ilmu sosial tentu masyarakat kecil akan lebih berperan dalam jalannya sejarah. Selama ini penulisan sejarah hanya menonjolkan peran dari masyarakat elit saja seperti raja, hulubalang, priyayi, presiden, pemimpin militer atau para birokrat namun jarang sekali mengangkat peran rakyat kecil dalam penulisan sejarah karena itu pendekatan ini juga dapat disebut pendekatan yang demokratis.
Pendekatan multidimensional ini merupkan kemajuan dalam ilmu sejarah karena dengan melakukan pendekatan ini maka akan memberikan warna baru dalam penulisan sejarah seperti adanya penulisan sejarah tentang sejarah iklim, sejarah kuliner, sejarah petani, sejarah alat transportasi dan lain sebagainya. Namun sayang anjuran pendekatan yang dilakukan ini tidak dilakukan, terutama dalam penerapan multidimensi, tetapi yang lebih banyak dianut “Indonesia sentrisnya”. Jadi pendekatan terhadap teori-teori ilmu sosial dalam penulisan sejarah pun masih kurang. Pendekatan yang dilakukan hanyalah lebih kepada pembalikan kata-kata misalnya dari “pemberontak” menjadi “pahlawan”.
Perkembangan jaman memang telah menuntut ilmu pengetahuan untuk berkembang pula agar suatu ilmu tidak kehilangan fungsinya sebagai problem solver. Ilmu sejarah merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang harus berkembang dari segi penulisan. Pendekatan naratif yang selama ini dipakai oleh para sejarawan nampaknya tidak lagi relevan dalam perkembangan jaman yang begitu cepat. Solusi dari permasalahan itu ialah dengan melakukan pendekatan multidimensional yang mana ilmu sejarah harus meminta bantuan ilmu-ilmu sosial dalam memecahkan permasalahan sosial dimasa lampau. Pendekat multidimensioanal harus terus menerus diterapkan dalam penulisan sejarah, bukan hanya sebagai simbol saja agar ilmu sejarah dapat berkembang. Prof. Dr. Kuntowijoyo dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah menerangkan bahwa kesimpulan sejarah harus didasarkan dengan empat tahapan :
1.Heuristik merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah untuk berburu dan mengumpulkan berbagi sumber data yang terkait dengan masalah yang sedeang diteliti, misalnya dengan melacak sumber sejarah tersebut dengan meneliti berbagai dokumen, mengunjungi situs sejarah, mewawancarai para saksi sejarah;
2.Kemudian masuk kritik atau pengujian kebenaran dari data yang disajikan tersebut. Seandainya sudah betul-betul lulus uji alias kebenarannya tidak disangsikan maka data itu disebut fakta sejarah. Kritik merupakan kemampuan menilai sumber-sumber sejarah yang telah dicari (ditemukan). Kritik sumber sejarah meliputi kritik ekstern dan kritik intern.
1.Kritik Ekstern
Kritik ekstern di dalam penelitian ilmu sejarah umumnya menyangkut keaslan atau keautentikan bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen, dan naskah.Bentuk penelitian yang dapat dilakukan sejarawan, misalnyatentang waktu pembuatan dokumen itu (hari dan tanggal) atau penelitian tentang bahan (materi) pembuatan dokumen itu sndiri.Sejarawan dapat juga melakukan kritik ekstern dengan menyelidiki tinta untuk penulisan dokumen guna menemukan usia dokumen. Sejarawan dapat pula melakukan kritik ekstern dengan mengidentifikasikan tulisan tangan, tanda tangan, materai, atau jenis hurufnya.
2.Kritik Intern
Kritik Intern merupakan penilaian keakuratan atau keautentikan terhadap materi sumber sejarah itu sendiri. Di dalam proses analisis terhadap suatu dokumen, sejarawan harus selalu memikirkan unsur-unsur yang relevan di dalam dokumen itu sendiri secara menyeluruh. Unsur dalam dokumen dianggap relevan apabila unsur tersebut paling dekat dengan apa yang telah terjadi, sejauh dapat diketahui berdasarkan suatu penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada.;
3.Selanjutnya masuk interpretasi. Fakta-fakta sejarah tadi kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bantuan ilmu-ilmu sosial atau ilmu bantu lainnya sehingga dapat diketahui hakikat dibalik kejadian sejarah atau fakta sejarah;
4.Historiogray adalah proses penyusunan fakta-fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data-data yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu bukan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibaca orang lain. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisan nya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat mengerti pokok-pokok pemikiran yang diajukan.
Manusia dalam dimensi waktu, selalu memberikan sisi misteriusnya yang sulit untuk dijelaskan secara ilmiah. Aspek pemikiran manusia dalam hal inovasi memang terus mengalami perkembangan yang signifikan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya gerak sejarah. Munculnya sebuah peradaban dalam realita historis telah membantu kehidupan manusia masa kini, dan bahkan, di masa depan. Sejarah dijadikan sebagai sebuah alur pijakan dalam merevitalisasi setiap aspek internal dalam struktur sosial umat manusia.
Sejak ilmu diplomatik diciptakan oleh Mabillon (1632-1707), pemakaian dokumen sebagai sumber sejarah mulai memerlukan kritik ekstern dan kritik intern. Kritik secara ekstern memiliki orientasi atas otentisitas sumber sejarah. Apakah sumber yang digunakan otentik atau tidak, yaitu kenyataan identitasnya, bukan tiruan atau palsu. Aktualisasi kritik ini dilakukan secara analitik, mendalam, dan penuh ketelitian. Aspek inilah yang memiliki hubungan erat dengan kualitas seorang sejarawan dalam mengaktualisasikan fakta sejarah dalam persfektif kontemporer. Kritik intern memiliki orientasi atas kredibilitas, yakni bisa dipercayakah sumber, isi dokumen, fakta-fakta, dan pernyataannya. Untuk itu, perlu dilakukan identifikasi penulis, dari hal sifat dan wataknya, daya ingat, jauh dekatnya dengan peristiwa dalam dimensi waktu, dan lain sebagainya.
C.Sistematika penulisan sejarah untuk periode sejarah kontinum
1.Historiografi tradisional
Bentuk-bentuk historiografi tradisional adalah merupakan tradisi penuturan dan penulisan yang berkembang di dalam masyarakat yang kehidupan dan kebudayaannya bersahaja. Oleh karenanya dapat juga disebut sebagai historiografi primitif. Dalam kenyataannya masyarakat tradisional atau primitif telah menghasilkan beberapa bentuk historiografi yang adakalanya tertulis atau dalam bentuk penuturan lisan. Diantara bentuk-bentuk historiografi tradisional itu ialah:
a.Mitos
Bentuk mitos adalah penulisan atau penuturan sejarah yang merupakan penggambaran kenyataan melalui proses emosional dan kepercayaan. Biasanya mitos mempunyai fungsi membuat masa lampau bermakna dengan memusatkan kepada bahagian-bahagian masa lampau yang mempunyai sifat tetap dan berlaku secara umum. Di dalam mitos tidak ada unsur waktu dan tidak ada masalah kronologi . Bentuk ini di Indonesia terlihat seperti pada penulisan.
b.Genealogis
Bentuk ini merupakan penggambaran sejarah yang melukiskan tentang hubungan individu dengan individu lainnya berdasarkan keturunan (pertalian darah) atau pertautan antara satu generasi dengan generasi yang lain. Penulisan genealogis biasanya berkembang dalam masyarakat tradisional, terutama yang mempunyai pandangan kesukuan yang sangat besar dan pengungkapannya sering ditujukan sebagai upaya mewujudkan legitimasi atau pengakuan atas seorang individu dan keturunannya di lingkungan masyarakatnya. Di Indonesia terdapat tradisi seperti penulisan silsilah dalam masyarakat Makassar dan masyarakat Bugis.
c.Kronik
Bentuk kronik ialah pengisahan sejarah yang telah didasarkan atas kesadaran waktu, yaitu dengan menempatkan urutan peristiwa dalam dimensi waktu tertentu. Bentuk ini setidaknya adalah awal dari sejarah yang berpusat pada tindakan manusia serta sudah memperlihatkan hal-hal yang esensial bagi cerita sejarah, yaitu adanya batasan waktu dan urutan sejarah. Babad Tanah Jawi dan Serat Jangka Jayabaya dari masyarakat Jawa dan beberapa penulisan sejarah tradisional di Sulawesi Selatan, agaknya adalah merupakan contoh yang baik untuk penulisan kronik di Indonesia.
d.Annal
Annal adalah pemaparan sejarah masa lalu yang telah menempatkan fakta peristiwa dalam konteks waktu tertentu, akan tetapi penulisannya sering kali terbebas dari urutan fakta kronologis. Dalam bentuk ini sudah terlihat adanya jaringan persepsi dan interpretasi penulisnya, malah sudah terdapat pula penempatan gejala (fakta) dalam suatu totalitas yang mencerminkan pandangan masyarakat penganutnya. Annal adalah perkembangan lanjutan dari bentuk kronik, bahkan bentuk ini dianggap merupakan fase transisi antara penulisan epos tradisional dengan historiografi modern. Penulisan sejarah bentuk annal seperti ini terlihat pada penulisan hikayat-hikayat, Sejarah Melayu.
2.Historiografi Modern
Penulisan sejarah tradisional seperti telah dikemukakan terdahulu, lebih merupakan bahagian karya sastra ketimbang karya sejarah. Penulisan sejarah di sini lebih banyak mengutamakan kepentingan pesan yang akan disampaikan, oleh karenanya pengungkapan fakta sering tidak mempertimbangkan antara yang mungkin dan yang tidak mungkin, serta bercampur aduknya antara fakta dengan peristiwa-peristiwa fiktif, magis dan sebagainya.
D.Kecenderungan sejarah Indonesia memberikan catatan tentang adanya misianistis
1.Ratu adil
Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Indonesia terus-menerus timbul pemberontakan, kerusuhan, kegaduhan, brandalan dan sebagianya, yang semua itu cukup menggoncangkan masyarakat dan pemerintahan waktu itu. Peristiwa-peristiwa itu terutama sekali banyak terjadi di daerah pedesaan. Gerakan yang hampir terjadi tiap tahun ini mengambil bentuk radikal yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran mesianistis atau mileranistis dan juga dengan pandangan eskatologi yang bersifat revolusioner.
Motivasi yang melatari tindakan radikal itu bisa bervariasi, begitu pula dengan bentuk-bentuk gerakan yang mereka jalani. Gerakan mesianistis paling tua terkenal dengan apa yang disebut Pemberontakan Diponegoro (yang lebih dahulu) pada sekitar tahun 1720. Selama abad ke-19 gerakan semacam ini tersebar luas ke seluruh daerah Jawa dan muncul dalam wajah yang beragam. Dalam pertengahan pertama dari abad itu secara berurutan gerakan itu muncul secara lokal, dan tercantum dalam laporan tertulis sehingga jelas menunjukkan bahwa harapan-harapan mesianistis di kalangan rakyat merupakan faktor yang penting di mata pemerintah. Sifat nativistis dari gerakan itu tercermin dalam harapan-harapannya akan kembalinya kerajaan pribumi. Selama pertengahan kedua abad ke-19 ide mesianistis semakin tampak.
Sartono Kartodirdjo menjelaskan, perkembangan yang telah dicapai dalam tahun 1880-an mengisyaratkan bahwa gerakan kegamaan berusaha membenarkan aspirasi-aspirasi politik. Di satu pihak ada rasa ketersingkiran politik, dan di lain pihak memperkuat kembali tradisi. Mayoritas keum elite agama, yang sudah kehilangan hak-hak mereka di bidang politik, bertindak sebagai sebagai kelompok protes, yang menantang lembaga-lembaga baru. Kehadiran lembaga dan suasana kehidupan baru, tentu akan memicu banyak reaksi manakala isi yang dibawanya tidak aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat. Akibatnya, kebangiktan kebali tradisi, baik berlatar agama maupun kultur setempat, menjadi hal yang lumrah, guna menekan dan meminimalisir terjadinya alienasi serta ketertindasan rakyat bawah.
Dalam segi-segi keagamaan, gerakan ini selalu menyertakan unsur-unsur nativistis, kehidupan kembali mitos-mitos lama atau suatu kerinduan terhadap kembalinya zaman keemasan pada masa lampau. Kerinduan rakyat untuk menemukan kembali zaman keemasan yang mistis itu, ditunjukkan dalam ramalan-ramalan mesianistis, dan rakyat melahirkan rasa dendamnya terhadap pemerintah asing, serta keinginan mereka untuk mengusirnya tergambar dalam penghidupan kembali harapan-harapan mereka akan kedatangan Ratu Adil. Tetapi harapan-harapan itu selalu mengandung diagnose terhadap keburukan kehidupan sosial dan ekonomi yang telah mencekik penduduk pedesaan.
Gerakan perlawanan rakyat di masa ini memang kebanyakan dipicu oleh semangat yang bersifat milenaristis-mesianis. Ide milenaris meyakini bahwa kelak akan tiba suatu tatanan masyarakat yang seluruhnya baru, yang melenyapkan segala kekurangan yang ada sekaligus. Ide ini memimpin berbagai macam gerakan revolusioner primitif dalam masyarakat tradisional. Sedangkan ide mesianis meyakini akan datangnya seorang mesias, sang juru selamat adikodrati. Dalam mitos Jawa, sang mesias disebut ratu adil atau Eurokoco, seorang yang pada suatu saat akan datang membawakan kemakmuran yang berlimpah. Gerakan milenaris di Jawa mempunyai ciri nativisme, atau kepribumian, yaitu gejala yang menunjukkan adanya kebencian yang kuat terhadap penguasa asing, yang dianggap bertanggungjawab akan keruntuhan masyarakat yang sedang berjalan dan hasrat untuk kembali kepada masyarakat sebelum tibanya orang asing. Perlawanan Pangeran Diponegoro antara tahun 1825-1830 merupakan contoh yang tepat untuk menggambarkan semangat milenaris-mesianis dalam menghadapi kolonial Belanda. Boleh kita katakan bahwa beliau termasuk seorang intelektual pada jamannya karena mampu mengolah alam pikir rakyat saat itu menjadi semangat untuk mengusir penjajah kolonial yang sewenang-wenang.
2.Seni budaya
Dalam menghadapi perubahan masyarakat yang ekstensif diperlukan upaya kultural, dimana hubungan manusia yang bermakna dalam kehidupan hendaknya diberi ruang lingkup bergerak bagi nilai-nilai dan norma-norma untuk memperoleh keseimbangan baru dalam mengatur hidup, baik secara perorangan maupun kelompok. Dalam kondisi seperti itu besar kemungkinan akan diketemukan bentuk-bentuk budaya baru yang akan memberikan makna bagi kehidupan masyarakat.
Sartono Kartodirdjo dalam bukunya “Pemikiran dan perkembangan Historiografi Indoneisa” menyatakan bahwa “Kultur dan komunitas kultur dalam perjalanannya dari suatu fase ke fase yang lain dalam perkembangannya sangat ditentukan oleh seni budaya. Maka semua menumen dari masa lampau adalah menumen estetis. Seni suara, seni tari, seni bangunan, seni sasatra dipakai untuk mengkomunikasikan upacara-upacara, yang menyusun ikatan-ikatan sosial manusia”.
Hubungan antara seni budaya dan kehidupan kolektif terdapat interaksi antara kreaktivitas seseorang dan kesadaran akan potensi kreativitas untuk mengkomunikasikan makna, sehingga mampu untuk mempersatukan pengalaman kolektif dari berbagai kelompok. Eksprisi kreatif dapat dipandang sebagai aktifitas kolektif dan perseorangan yang mempengaruhi pengalaman manusia serta memberi kemungkinan kepada kita untuk menentukan identitas diri.
Fungsi komunikatif dan makna yang dikandungnya tidak dapat dilupakan begitu saja dalam mempelajari seni budaya. Tidak hanya berasal dari mana makna itu, tetapi juga tujuan yang hendak dicapai seberapa jauh dapat mempengaruhi masyarakat.
Karya-karya seni budaya dari suatu masa tertentu berfungsi sebagai penyaring dari pengalaman kolektif, karena merupakan wadah bagi berbagai permasalahan pada jamannya. Sekalipun karya artis merupakan kristalisasi jamannya, akan tetapi dapat melampaui struktur sosial dan lingkungan sehingga mempunyai sifat universal.
3.Gerakan sosial
Pada tahun 1903 seorang kiai dari desa Samentara di Kabupaten Sidoarjo, bernama Kasan Mukmin, mulai bertindak sebagai orang yang menerima wahyu dan mengaku sebagai pejelmaan Imam Mahdi yang akan mendirikan sebuah kerajaan baru di Jawa. Ia berkhotbah bahwa perang jihad akan diumumkan untuk melawan pemerintah Belanda. Sebelum memproklamirkan diri sebagai juru selamat, Kasan Mukmin telah mengumumkan sekelompok pengikut di sekelilingnya. Ia membagi-bagikan jimat dan menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit. Berlatarbelakang sebagai seorang santri dan punya koneksi dengan beberapa orde tarekat, Kasan memobilisir sekaligus meyakinkan pengikutnya akan kemenangan terhadap senapan-senapan Belanda. Di samping dimodali kepercayaan akan kesaktian tertentu, misalnya kekuatan kebal peluru, mereka juga ‘dihibur’ oleh kenikmatan surgawi jika memang harus mati di medan petempuran. Karenanya, tak perlu khawatir untuk meninggalkan anak-istrinya, mereka akan terpelihara.
Menurut rencana semula, pemberontakkan akan dilaksanankan pada hari Minggu 29 Mei atau Ahad Legi 14 Maulud, kemudian dimajukan pada hari Jumat tanggal 27 Mei bertepatan dengan Grebeg Maulud, yaitu perayaan hari kelahiran Nabi. Singkat cerita, melalui ritus dan penggunaan simbol-simbol khusus, rombongan yang kurang lebih bejumlah seratus orang tersebut akhirnya bertempur sengit dengan Bupati Sidoarjo. Pertempuran berakhir singkat, dan dalam kondisi ketakutan para pemberontak melarikan diri untuk menghindari tembakan dari pasukan pemerintah.
Gerakan mesianisme pada tahun 1907 di desa Bendungan wilayah Kabupaaten Berbek di Karesidenan Kediri. Pemimpin dari gerakan ini bernama Dermodjojo, seorang petani kaya dari desa Bendungan yang berusia 60 tahun. Di samping tersebar di masyarakatnya bahwa ia punya cerita ajaib di masa kelahirannya, ia juga termasuk seorang santri tekun yang berkeliling untuk menimba ilmu dari beberapa pesantren dan Kiai.
Perbauran antara gerakan milenaristis dan gerakan sosial modern muncul dalam gerakan Serekat Islam, yang pada dasarnya memperlihatkan sifat-sifat milenaristis yang kuat, seraya di “bangunan atas” ia merupakan gerakan yang modern dan rasional walaupun tidak merupakan gerakan sosial yang revolusioner. Seperti telah dikemukakan bahwa dalam tradisi Jawa yang milenaristis tokoh mesias-raja memainkan peranan penting. Hal ini kita lihat juga dalam milenarisme yang terjalin dalam Serikat Islam di Jawa.
Harapan yang ditimbulkan atau digerakkan oleh Serikat Islam akan datangnya mesias-raja kebanyakan tertuju kepada keraton Surakarta. Kenyataan bahwa Serikat Islam timbul di ibukota kerajaan ini memainkan peranan yang sangat penting. Harapan mesianistis dalam rangka Serekat Islam sesungguhnya tidak hanya tertuju kepada Susuhunan Surakarta. Beberapa kali kita jumpai pula contoh tentang harapan yang tertuju pada Mangkunegara. Residen Surakarta menyatakan bahwa pada kongres Serekat Islam di Surakarta pada tahun 1913, tersebar desas-desus bahwa H. Samanhudi bertindak sebagai utusan susuhunan disana, hal yang sama pula terjadi dengan beredarnya cerita tentang Tjokroaminoto di sekitar Sidoarjo, daerah Surabaya.
Pemimpin-pemimpin Serekat Islam kadang-kadang menjadi tumpuan harapan mesianistis. Hal ini terutama berlaku bagi Tjokroaminoto. Juga Goenawan menimbulkan harapan demikian pada rakyat Sumatra Selatan. Mengenai Tjokroaminoto sendiri, Bupati Surabaya menyebutkan dalam suatu nota tentang gerakan Serekat Islam: keterangan saksi yang menyatakan bahwa Tjokroaminoto sebagai “raja” Serekat Islam. Dalam kedudukan ini orang menghubungkannya dengan raja yang akan datang yang menurut ramalan Jayabaya pasti akan tiba. Di Jawa Barat diumumkan bahwa Tjokroaminoto-lah yang akan menjadi raja Jawa yang baru. Juga terdapat suatu laporan saksi mata tentang bagaimana Tjokroaminoto disambut oleh rakyat Situbondo dan sekitarnya, di Jawa Timur yang memberikan kesan kuat bahwa Sang juru selamatlah yang disambut, bukan pemimpin utama Sarekat Islam.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Peristiwa masa lampau baru menjadi sejarah apabila sudah diberi penafsiran. Penafsiran sejarah dituntut adanya validitas obyektif, penafsiran sejarah tidak selamanya dianggap benar, kadang-kadan tidak sesuai lagi dengan zamannya. Keragaman penafsiran sejarah, disebabkan karena adanya perbedaan cara berpikir manusia, kepentingan dan kemampuan. Perbedaan cara berfikir manusia dipengaruhi oleh pandangan hidupnya dan pandangan manusia terhadap alam semesta.
Interpretasi sangat esensial dan kursial di dalam metodolgi sejarah. Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sitetis. Analisis adalah salah satu model membuat interpretasi. Dari data yang bervariasi dapat dianalisis setelah ditarik secara induktif sehingga dapat disimpulkan. Dengan terciptanya beberapa formula metodologis ini, sejarah akhirnya menjadi lebih dari sekedar cerita masa lalu, namun suatu pengungkapan kebenaran pengetahuan tentang masa lalu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, sejarah dapat memasuki wilayah epistemologi sebagai suatu disiplin ilmu, sekaligus merupakan awal bagi historiografi memasuki periode modern.
Sejarah Indonesia cenderung memberikan catatan tentang adanya misianistis, yang melahirkan gerkan sosial dan kepercayaan adanya pemerintahan yang adil. Seperti yang dikemukakan oleh Sartono dalam bukunya “Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif”, terdapat enam ketegori pergerakan sosial; (1) Perbanditan sosial, gerakan ini mencakup perampokan, pe-ngacau-an, penyamunan; kegiatan itu bertentangan dengan pihak yang berkuasa atau tata tertib mayarakat, (2) Gerakan memprotes keadaan atau peraturan yang tidak adil, (3) Gerakan-gerakan yang sifatnya revivalistis, yaitu kegiatan-kegiatan yang bertujuan agar rakyat lebih rajin menjalankan kewajiban agamanya, (4) Gerakan yang bercorak narivistis, gerakan yang bertujuan untuk menegakkan kembali kerjaan kuno, (5)Gerakan mesianistis, yaitu gerakan yang memuat harapan akan kedatangan Ratu Adil atau Imam Mahdi, (6) Gerakan yang dijiwai oleh semangat perang sabil.
B.Saran
Sebagai sejarawan akademik sebaiknya dalam menuliskan sejarah, sebaiknya bersikap netral kepada mazhab-mazhab tertentu, tidak terlalu percaya kepada penukil berita sejarah, tidak berprasangka keliru terhadap apa yang didengar dan dilihat. Dalam penyusun historiografi sebaiknya memandang kejadian-kejadian masa lalu pada jamannya, tidak boleh melihat kejadian masa lalu sebagai masa kini. Oleh karena itu, maka perlu melihat metodologi sejarah sebagai acuan dalam penulisan historiografi.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmith. 1987. Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta : Gramedia.
Hall, D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya : Usaha Nasional.
Hegerl, G.W.E. 2007. Filsfat Sejarah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hugiono & Poerwantana, P.K. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta : Bina Aksara.
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia.
----------- 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia.
Pranoto, Suhartono W. 2010. Teori dan Metologi Sejarah. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Puspenogoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia I - VI, Jakarta : Balai Pustaka.
Winemburg, Sam. 2006. Berfikir Historis, Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)