Kamis, 01 Desember 2011

TELLUMPOCCOE

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Politik ekspansi yang dilakukan oleh raja Gowa I dan II, nampaknya diikuti oleh pengganti-penggantinya. Raja Gowa ke XI, I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta (1565), meneruskan ekspansi ayahnya memerangi Kerajaan Bone. Dalam peperangan itu ia terbunuh oleh pasukan Bone, dan pasukan Gowa yang mengawalnya mengundurkan diri dan lari kembali ke negerinya. Sang Raja yang ditemukan oleh pasukan Bone tergeletak tewas dalam pertempuran yang melelahkan. Para pemimpin pasukan Gowa mengundurkan diri dan lari bercerai berai. Atas izin Raja Bone La Tenrirawe Bongkannge, dan mengikuti nasehat Kajao Laliddong, jenaza I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta dikembalikan ke Gowa dengan suatu upacara penghormatan. Satu iring-iringan kebesaran di bawah pimpinan empat orang pembesar terkemuka Kerajaan Bone, yaitu Arung Teko, Arung Biru, Arung Lamoncong, dan Arung Sanrego mengantar jenazah baginda ke Kerajaan Gowa. Setelah masa berkabung, diadakan perundingan antara Raja Bone dengan pembesar-pembesar Kerajaan Gowa, yang dipimpin oleh Mangkubumi Kerajaan Gowa I Mappataka’tana Daeng Padulung. Perundingan ini mengahsilkan suatu kesepakatan perdamaian yang mengahsilakan “Ulukanaya (Cappae) ri Caleppa” (perjanjian di Caleppa). Perjanjian ini sangat menguntungkan Kerajaan Bone karena beberapa wilayah yang dikuasai Gowa dikembalikan ke Bone, di antaranya negeri-negeri yang terletak sampai ke Sungai Walanae di sebelah barat dan sampai daerah Ulaweng di sebelah Utara. Sungai Tangka yang berbatasan dengan Sinjai Bone, menjadi batas kekuasaan Bone dan Gowa. Di sebelah utara Sungai Walanae menjadi wilayah kekuasaan Bone dan di sebelah selatan menjadi wailayah kekuasaan Gowa. Cenrana di wilayah Luwu dikembalikan ke Bone. Hubungan damai antara Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa hanya berlangsung sekitar 10 tahun. Ketegangan-ketegangan baru terjadi ketika Kerajaan Bone kelihatan memperkuat pertahanan dalam negeri, dengan cara memobilisasi kekuatan-kekuatan pertahanan di wilayah-wilayah perbatasan-nya. Wajo dan Soppeng yang selama ini setia kepada kerajaan Gowa mulai di usik, sehingga kedua kerajaan ini mendekatkan diri dengan Kerajaan Bone. Kerajaan Gowa terus melakukan tekanan-tekanan keras kepada Wajo dan Soppeng agar tetap setia kepada Kerajaan Gowa. Sekitar tahun 1578, Arung Pone La Tenrirawe Bongkannge, bersama Arung Matoa Wajo, La Mungkace Toudamang, serta Datu Soppeng La Mappaeppe’ Patolae, menyepakati suatu persekutuan tiga kerajaan, di kampung Banne dalam Wanua Timurung (Bone Utara), yang dikenal dengan “Lamumpatue ri Timurung” (Penanaman Batu di Timurung), atau biasa juga disebut Mattellumpoccoe atau Tellumpoccoe (Persekutuan Tiga Negara). Peristiwa ini menimbulkan kemurkaan Sombayya ri Gowa, dan mulailah disulut api peperangan ke pada ketiga kerajaan tersebut. B.Permasalahan 1.Mengapa ketiga kerajaan (Bone, Wajo dan Soppeng) melakukan persekutuan. 2.Bagaimanakah proses terjadinya persekutuan ketiga Kerajaan tersebut? 3.Apakan tujuan dari dibentuknya persekutuan Tellumpoccoe. BAB II PEMBAHASAN A.Persekutuan Bone, Soppeng, dan Wajo. Persekutuan yang melahirkan sebuah perjanjian dengan jelas membagi status pihak yang terlibat di dalamnya. Persekutuan boleh jadi disebabkan oleh adanya “asseajingeng” (bahasa : Bugis) yang dapat diterjemahkan “Persaudaraan”. Pada puncak hierarki asseajingeng adalah persekutuan pihak yang benar-benar sederajat, atau sebuah persekutuan dua atau lebih saudara yang sama besar (sederajat). Yang lebih lazim adalah persekutuan antara saudara yang kedudukanya tidak setara, di mana yang lebih tua disebut kakak, dan lebih lemah disebut adik. Dalam perjanjian yang melibatkan Bone, Wajo dan Soppeng di Timurung pada abad ke-16, Bone dianggap yang tertua, Wajo dianggap yang tengah, dan Soppeng sebagai saudara muda (uluai Bone ana’tenngai Wajo, paccucunngi Soppen) (Noorduyn 1955:190 dalam Andaya 2004:136). Untuk menaikkkan status Soppeng menjadi saudaranya, maka Bone dan Wajo memberikan tanah. Kasus serupa pernah dilakukan oleh Kerajaan Luwu kepada Wajo sepaya layak disebut saudara. Biasanya pada awal persekutuan, pihak yang lemah memperlihatkan keenggangan untuk mengakui hubungan persaudaraan. Sebaliknya mereka meminta untuk memperlakukan sabagai anak oleh ibunya, karena inilah hubungan yang paling pantas dan benar-benar menggambarkan posisi mereka dalam hierarki negara-negara (Noorduyn 1955:190 dalam Andaya 2004:136). Di bawah status padaworoane, atau saudara, adalah ibu dan anak kesayangan. Dalam hubungan seperti ini kerajaan atasan memberi kepada kerajaan bawahannya status lebih baik dibandingkan yang lainnya, karena memperoleh pengakuan akan pengabdian khususnya yang dilakukan untuk kerajaan atasan. Kadang-kadang pakaian yang pantas bagi to deceng (keturunan terhormat) diberikan sebagai tanda kesukaan. Status ibu dan anak merupakan tata aturan hubungan dengan kerajaan bawahan. Tata aturan ini diciptakan lewat kekerasan maupun persetujuan. Dalam kasus yang muncul kemudian, sebuah negara mencari perlindungan dari negara lain dan dengan itu memperoleh status bawahan yang lebih baik ketimbang kerajaan yang ditaklukkan. Namun demikian Kerajaan bawahan yang diberi perlindungan masih berada di bawah kedudukan negara anak kesayangannya. Dasar hierarki hubungan antar kerajaan adalah hubungan antara tuan dan budak. Kerajaan bawahan yang berperang melawan kerajaan atasannya dan berhasil dikalahkan, maka kerajaan bawahan akan kehilangan hak-haknya dan terperosok ke posisi budak, dan harus berada di bawah kekuasaan mutlak tuannya. Sekalipun demikian mereka tetap mempertahankan penguasa, adat dan bicara-nya. Unsur-unsur spiritual dalam perjanjian seringkali menempati posisi yang sama pentingnya dengan politik bagi kerajaan-kerajaan. Sebuah perjanjian disetujui dua pihak, kemudian disalin dan disimpan bersama dengan pusaka kerajaan. Keseluruhan kumpulan perjanjian menjadi sejenis benda pelindung kerajaan karena dia merupakan gudang kata-kata sakral yang disumpahkan dengan hikmat oleh beberapa generasi penguasa. Seorang penguasa biasanya menuju attoriolong (tempat pemujaan) untuk memohon bantuan leluhur dan meminta petunjuk dalam perjanjian tentang cara-cara mengatur dan melestarikan negerinya. Ketika seorang penguasa mengucap-kan sumpah untuk mematuhi atau memperbaharui sebuah perjanjian, bukanlah perkara ringan, karena melibatkan generansi sebelumnya, masanya, dan sesudahnya. Dia tidak boleh menolak sebuah perjanjian kecuali disepakati oleh seluruh pihak, kalau tidak maka hal itu merupakan pengingkaran terhadap leluhur mereka, dia hanya akan mengizinkan perjanjian itu diganti dengan yang lain atau ditunda sampai keadaan membawanya ketempat yang seharusnya. Ketika perjanjian Tellumpoccoe telah disepakati, maka akan menjadi persetujuan permanen yang dapat dimunculkan kembali dan diperbaharui, atau mundur di latar belakang ketika berhadapan dengan kekuatan politik atau spiritual yang lebih besar. Dokumen Perajanjian Tellumpoccoe hanya dibuat sekali. Seluruh perjanjian yang muncul sesudahnya disebut dalam catatan hanya sebagai pembaharuan (riberui) dari perjanjian asli. Secara faktual merupakan sebuah pengakuan dan penegasan dari sebuah kerajaan terhadap status politik dan spiritual baru kerajaan lain. Perjanjian, sumpah, dan seluruh prosedur pembuatannya adalah bagian dari proses berlanjut untuk terus menaksir pertalian politik dan spiritual agar dapat menjamin terwujudnya hierarki kerajaan-kerajaan yang secara akurat mencerminkan situasi kekuasan ketiga kerajaan Tellumpoccoe. B.Prose Terjadinya Persekutuan Tellumpoccoe Hegemoni kekusaan kerajaan Gowa semakin menjadi-jadi dengan melakukan perluasan wilayah dengan mencaplok wilayah kerajaan-kerajan sekitarnya, baik melalui perjanjian maupun melalui perang, termasuk Kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo menjadi sasaran untuk dapat dikuasainya. Perluasan wilayah terus dilakukan, Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) bersama Mangkubumi Kerajaan Gowa/Raja Tallo I Mappataka’tana Daeng Padulung terus memperluas wilayah dan pengaruh kerjaan Gowa. Lamuru, Cenrana, Salo’mekko, Bulo-Bulo, Lamatti, Kajang, Bulukumba, Pannyikokang, Wero (Hero), Gattarang, Otteng, Wajo, Sawitto, Alitta ditaklukkan Gowa. Bone dikepung baik dari darat maupun dari laut. Untuk memperkuat posisinya di sebelah selatan, maka kerajaan Gowa menjadikan Salo’mekko, Bulo-Bulo dan Lamatti sebagai negeri palili’ (bawahan otonom). Upaya pengepungan Kerajaan Bone dipandang sudah kuat, maka Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng atas kesepakatan Bate Salapanga, memaklumkan perang terhadap Kerajaan Bone. Raja Bone pada masa itu adalah Arumpone La Tenrirawe Bonkannge (1560-1578). Perang ini berlangsung selama + 10 tahun (1558-1565) tampa ada hasil yang menentukan siapa pemenangnya. Pada tahun 1565 Raja Gowa ke-10, I Mario Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng meninggal. Penggantinya I Tajibarani Daeng Marompa menjadi Raja Gowa ke-11. Duapuluh hari setelah pelantikannya, beliau berangkat ke medang perang di Kerajaan Bone dengan tujuan untuk menaklukkan Kerajaan Bone. Tetapi ajal baginya, beliau tewas dalam perang di Bone (1565). Maka beliau diberi gelar Anumerta “Tu-nibatta”. Gowa menerima kekalahan atas perang itu dan dicapai suatu perjanjian yang disebut Cappae ri Caleppa. Dalam perjanjian itu ditetapkan batas-batas daerah kekuasaan Kerajaan Gowa, antara lain : 1.Gowa mengembalikan ke Bone negeri-negeri yang terletak di daerah lembah sungai Walanae sampai batas Barat dan berbatas pada negeri Ulaweng di sebelah Timur. 2.Daerah sebelah utara sungai Tangka, menjadi daerah kekuasaan Bone, dan sebelah selatan Sungai Tangka tetap di bawah kekuasaan Gowa. 3.Gowa mengembalikan Cenrana kepada Bone (Mattulada 1998 : 97). Cappae ri Caleppa ini dapat membawa perdamaian sementara, terutama juga disebabkan oleh pengangkatan Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa (+ 1565-1590) adalah sahabat Arumpone La Tenri Rawe Bongkannge. I Manggorai pernah tinggal di Bone dan mendapat perlindungan dari Arumpone, karena membuat kesalahan di Gowa. Cappae ri Caleppa hanya belangsung sekitar 10 tahun, muncullah kembali berbagai tekanan dari Kerajaan Gowa atas Kerajaan Bone. Kerajaan Bone menghadapi banyak perlawanan dan serangan dari Kerajaan Gowa bersama sekutu-sekutunya. Kerajaan Gowa berusaha kembali merebut Cenrana dari Kerajaan Bone. Di sisi lain, Datu Luwu yang bernama Sanggaria mengerah-kan pasukan untuk merebut kembali Cenrana yang tadinya merupakan wilayah tertorial Kerajaan Luwu, tetapi gagal, sehingga Cenrana tetap berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bone. Sekalipun Raja Bone ke-7 La Tenrirawe Bongkannge, selalu memenangkan perang, baik terhadap Kerajaan Gowa maupun Kerajaan Luwu. Beliau tetap waspada dan selalu berusaha memperkuat diri, dengan menjalin persahabatan dengan Wajo, Soppeng dan Tellu Limpoe (Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti) yang masih berada dalam pengaruh Kerajaan Gowa. Dengan Wajo dan Soppeng, Kerajaan Bone menjalin persekutuan Tellu-Boccoe yang disebutnya “Mattelumpoccoe” bardasarkan perjanjian Lamumpatue ri Timurung (1578) yang dilaksanakan oleh tiga penguasa Arungpone La Tenrirawe Bongkannge, bersama Arung Matoa Wajo, La Mungkace Toudamang, serta Datu Soppeng La Mappaleppe’ Patolae. Dalam perjanjian Lamumpatue ri Timurung, Soppeng mengemukakan kekurangannya sehingga tidak patut menjadi saudara bungsu. Wajo juga mengemukakan keberatannya, sebab Wajo belum bebas dari pengabdiannya terhadap Kerajaan Gowa, oleh karena pembebasan itu hanya dihadiakan oleh Kerajaan Gowa dan bukan Wajo yang memerdekakan dirinya. Bone menjawab, bahwa Wajo telah merdeka sejak ia mengalahkan Bulo-Bulo, maka Wajo hanya berkeluarga dengan Gowa, dan apabila Gowa masih ingin menjajah Wajo, maka ketiga kerajaan bersaudara akan melawannya. Kerajaan Bone dan Wajo memberikan beberapa daerah, sehingga Soppeng merasa patut seayah dan seibu dengan Bone dan Wajo. C.Tujuan Persekutuan Perjanjian Lamumpatue ri Timurung bukanlah alat penindasan melain-kan untuk mewujudkan hubungan yang pantas dan damai antara kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng. Pada perinsipnya perjanjian ini bertujuan adalah untuk menentang tekanan-tekanan kemungkinan akan adanya invasi dari Kerajaan Gowa. Dalam wilayah diplomatik perjanjian ini sama dengan konsep siri’ (malu) dalam kaitannya dengan peribadi. Memiliki siri’ adalah mengetahui diri sediri dan luluhur, atau dengan kata lain mengetahui kedudukan dan tempat di dalam masyarakat. Kemanjuran perjanjian Lamumpatue ri Timurung terletak pada diterimanya secara universal oleh ketiga kerajaan tersebut, hal ini dikarenakan fungsi hukumnya yang dapat menjaga harmoni dalam masyarakat. Dengan menetapkan sebuah hierarki kerajaan-kerajaan yang terlibat dalam perjanjian Lamumpatue ri Timurung, sebuah kerajaan akan meminta perlindungan dan menghindari konflik yang tidak perlu. Dalam salah satu lontara’ Bugis, seorang penguasa menasehati tentaranya “janganlah berlebihan dalam bertempur sehingga perundingan nantinya tidak sulit”(Andaya 2004 : 139). Menaklukan sebuah wilayah atau menguasai sejumlah populasi bukanlah tujuan akhir dari peperangan di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, melainkan berusaha mencari pengaku-an sebuah kerajaan akan posisi pantasnya di dalam hiraraki antara kerajaan. Maka perjanjian Lamumpatue ri Timurung ini merupakan bentuk sebuah kebersamaan untuk menanggung segala resiko dalam rangka masseddi siri’ (mempersatukan harkat dan martabat diri) sebagai tumaradeka (orang merdeka). Ketika salah satu di antara ketiga kerajaan yang tergabung dalam Tellumpoccoe menyadari bahwa perjanjian Lamumpatue ri Timurung dilanggar, berarti sebuah penolakan terhadap kata-kata sumpah yang diucapkan oleh leluhur yang membuat perjanjian. Status dan harga diri kerajaan dianggap telah diragukan, dan satu-satunya tindakan yang pantas diberikan adalah mempertahankan perjanjian itu. Jika jalan damai tidak tercapai, maka jalan lain adalah bertempur untuk mempertahankan kepercayaan terhadap kedudukan dalam hierarki kerajaan-kerajaan. BAB III P E N U T U P A.Kesimpulan 1.Persekutuan Kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo merupakan sebuah bentuk kesepahaman di antara ketiga kerajaan tersebut untuk mendudukan kesejajaran mereka dalam hierarki kenegaraan. Kerajaan Bone dianggap sebagai yang tertua mempunyai kewajiban untuk melindungi Soppeng dan Wajo dari rongrongan kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya. 2.Proses terjadinya pesekutuan Tellumpoccoe berawal dari hegemoni kekuasaan kerjaan Gowa terhadap kerajaan-kerajaan sekitarnya, yang membuat Kerajaan Bone terancam kestabilannya. Perang yang dikobarkan oleh kerajaan Gowa terhadap kerajaan Bone, membuat Arung Pone La Tenrirawe Bongkannge menjalin persahabatan dengan Kerajaan Soppeng dan Kerajaan Wajo dengan menyepakati sebuah perjanjian Lamumpatue ri Timurung. 3.Dengan disepakatinya Lamumpatue ri Timurung, maka ketiga kerajaan ini masuk dalam kesejajaran dan sederajat dengan nama Tellu-Boccoe atau biasa juga disebut Tellumpoccoe. Dengan masuknya kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo dalam persekutuan Tellumpoccoe, maka ketiga kerjaan itu mempersatukan diri untuk mengangkat harkat dan martabat dirinya (massedi siri’) sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat penuh. B.Saran-Saran Setelah membaca uraian tersebut diatas maka disarankan kepada pembaca kiranya marilah kita bersama-sama mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara dengan melihat kearifan lokal. Nilai-nilai lokal seperti Lamumpatue ri Timurung yang melahirkan sebuah persekutuan tiga kerajaan yang disebut sebagai Tellumpoccoe patut dijadikan sebagai acuan untuk merekatkan seluruh elemen masyarakat sehingga tercipta suatu negara yang kokoh, kuat dan tangguh, sehingga bangsa-bangsa lain segan terhadap negara kita. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Andi Zainal. 1985. Wajo Abad XV-XVI; Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan.Bandung : Alumni. Abidin, Andi Zainal. 1999. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan.Ujung Pandang : Hasanuddin University Press. Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka; Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar : Ininnawa. Dg. Mattata, H. Moh. Sanusi. 1962. Luwu Dalam Revolusi. Makassar : Yayasan Pembangunan Asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Indonesia Luwu. Marzuki, H.M. Laica. 1995. Siri'; Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar. Ujung Pandang : Hasanuddin University Press. Mattulada, A. 1995. Latoa; Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung Pandang : Hasanuddin University Press. --------------1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang : Hasanuddin University Press. Patunru, Abdurrazak Daeng, dkk. 1989. Sejarah Bone. Ujung Pandang : Walanae. Poelinggomang, Edward L, dkk. 2004. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. Makassar : Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan. Poesponegoro, Marwati Djoened, dkk. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : PN Balai Pustaka. Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern; 1200-2008. Jakarta : Serambi.

Tidak ada komentar: