Kamis, 01 Desember 2011

Historiografi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau tentunya ada yang penting untuk dibahas, ada pula yang tidak. Sebuah peristiwa disebut penting bila kemudian peristiwa itu cukup berpengaruh terhadap masa selanjutnya. Bisa saja peristiwa penting tersebut pada waktu kejadiannya tidaklah begitu penting, namun setelah peristiwa tersebut berlalu barulah dirasakan pengaruhnya terhadap kehidupan di masa berikutnya. Berkenaan dengan konsep sejarah sebagai peristiwa maka kita kita akan membicarakan tentang kejadian, kenyataan, aktualitas yang telah terjadi atau berlangsung pada masa yang lampau. Historiografi tidak terlepas dari data-data yang mendukung guna penulisan sejarah. Historiografi merupakan usaha pendataan sumber-sumber yang telah tersedia terhadap kajian-kajian kritis yang ada. Metode-metode dan pendekatan-pendekatan yang di dapat atau telah terbukti di manfaatkan untuk mempelajari bahan-bahan dan terhadap masalah teoritis yang berkaitan dengan penulisan sejarah. Kesatuan koheren inilah yang menimbulkan keutuhan bangunan sejarah. Sejarah adalah konstruksi yang saling berkaitan satu sama lain. Unsur determinan dalam aspek kausalitas sejarah selalu mendapat dukungan dari formal causa dan final causa. Sejarawan selalu bekerja dengan dokumen, yakni data dan fakta yang valid. Tidak ada dokumen berarti tidak ada sejarawan, dan selanjutnya tidak ada sejarah sebagai satu kesatuan yang utuh. Value atau nilai sangat bergantung dari dokumen yang digunakan. B.Permasalahan Permasalahan pokok yang dibahas dalam makalah ini, adalah perkembangan historiografi Indonesia yang ditinjau dari kondisi sejarah masa lampau Indonesia dengan berbagai metode sejarah yang akan dipaparkan. Oleh karena itu maka pembahasan hitoriografi Indonesia, akan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan utama berikut ini : 1.Bagaimanakah bentuk penafsiran sejarah pada masa lampau? 2.Bagaimanakah cara yang benar menganalisa dan menginterpretasi sejarah dengan empat langkah metodologi sejarah terhadap penulisan sejarah masa lalu dan sejarah kontemporer? 3.Bagaimana sistematikan penulisan sejarah untuk periode sejarah kontinum terutama untuk fase yang tidak ada sumbernya bahkan tidak dapat ditemukan? 4.Dalam kondisi apa sejarah Indonesia cenderung memberikan catatan tentang adanya misianistis seperti ratu adil, seni budaya dan gerakan sosial! BAB II PEMBAHASAN A.Bentuk penafsiran sejarah pada masa lampau Untuk menghasilkan cerita sejarah, fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterpretasikan (ditafsirkan). Interpretasi tau tafsir sebenarnya sangat individual, maksudnya siapa saja dapat menafsirkan. Seperti peribahasa “lain lubuk lain ikannya, lain kampung lain adatnya, maksudnya bisa saja data sama tetapi penafsiran terhadap data tersebut berbeda. Hal itu tergantung dari perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir dan tujuan. Interpretasi sangat subyektif, tergantung dari pribadi masing-masing. Untuk memeriksa suatu fenomena historis seorang sejarawan harus berhubungan dengan fakta-fakta sejarah. Baik pada analisa maupun pada sintese historis. Fakta-fakta tidak dapat berbicara sendiri dan mempunyai sifat yang sengat kompleks. Fakta-fakta sebagai suatu konstruksi konseptual mengandung beberapa kerangka pembuktian, baik berupa postulat-postulat, hipotesa-hipotesa ataupun teori-teori (Sartono Kartodirdjo, 1982 : 63) Sejarah dari penulisan sejarah (historiografi) akan dapat menyoroti isi filosofis teoritis dari penelitian dan penulisan sejarah, membuka metode penggarapan bahan sejarah dan persentasi, ide-ide yang mengikat fakta-fakta sebagai kesatuan yang bermakna, cara menilai dan menginterpretasikan, dan yang sangat penting adalah pandangan hidup sipenulis (sejarawan). Penulisan sejarah (historiografi) berbeda-beda menurut negerinya, masanya, dan kepribadian dari sejarawan. Mempelajari sejarah dari penulisan sejarah (historiografi) itu tidak mengutamakan segi-segi isi faktual dan proses sejarah, tetapi lebih memusatkan perhatian terhadap pikiran-pikiran sejarah dalam hal kultural, sehingga mem-pertinggi kemampuan kita membuat pandangan dan perbaikan serta penilaian artinya (Sartono Kartodirdjo, 1982:15). Kemudian yang jelas juga adalah bahwa hal itu akan membuat sejarawan lebih kritis terhadap dirinya sendiri dan lebih memberi kemungkinan untuk mengobyektivitaskan penulisannya. Dengan senantiasa mengingat praktek sejarawan dalam masa yang lampau kita dapat memandang perkembangan historiografi dengan cara pandang yang benar dan tepat, sehingga akan dapat kita tentukan derajat kesadaran diri dari sejarawan. Dalam perkembangan penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia, beberapa corak historiografi cukup menonjol, yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial dan historiografi nasional. Historiografi tradisional cenderung masih didominasi oleh aspek magis religius dan oknum pengkisahnya tidak selalu diketahui secara pasti, kisah sejarah dalam masyarakat pada masa itu adalah milik kolektif. Hal ini membuktikan bahwa “historiografi adalah ekspresi kultural dan pantulan keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang menghasilkan-nya. Hal itu tidak berarti mengingkari bahwa karya sejarah merupakan hasil rekonstruksi sejarawan. Penghayatan kultural terhadap masyarakat menuntut masyarakat untuk membuat rekonstruksi kisah yang dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa mereka berada. Historiografi kolonial menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politis, ekonomis, dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara logis dari situasi kolonial dimana penulisan sejarah terutama mewujudkan sejarah dari golongan yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitos dari dominasi itu, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan penjajahan masyarakat serta kebudayaannya. Sejarah perang kolonial menguraikan pelbagai operasi militer secara mendetail, sedang bangsa Indonesia hanya disebut sebagai objek dari aksi militer Belanda, tidak diterangkan organisasi intern dari pemberontakan siapa, dan termasuk golongan apakah pemberontak itu, serta apakah yang sesungguhnya menjadi tujuannya. Suatu periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah yang kritis. Perkembangan metode sejarah ilmiah di Indonesia sebenarnya tidak langsung terjadi dalam bidang sejarah sendiri. Untuk dapat melakukan kritik terhadap sumber-sumber sejarah diperlukan ilmu bantu. Karya Husein Djajadiningrat, Critische Beschouwingen Van De Sejarah Banten merupakan hasil studi yang menggunakan suatu karya historiografi tradisional sebagai obyek sekaligus sebagai sumber sejarah. Beliau dapat dicatat sebagai putra Indonesia pertama yang menggunakan prinsip-prinsip metode kritis sejarah. Dan setelah proklamasi, terdapat upaya yang dominan untuk melihat sejarah dari aspek nasional, memandang sejarah dari masyarakat Indonesia sendiri. Sebagai konsekuensi dari pantulan kesadaran kultural, maka wajar bila historiografi yang berkembang adalah sejarah ideologis. Suatu sejarah yang menanamkan suatu nilai-nilai terutama semangat nasionalisme, heroisme, dan patriotisme. Dalam perkembangaannya historiografi Indonesia modern, dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Pada seminar tersebut membahas tiga hal yang dianggap sangat penting ketika itu, hal tersebut antara lain filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Perdebatan berlanjut sampai pada tahun 1970. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah. Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, kelompok yang sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis, tetapi kenyataannya mereka mungkin yang paling sedikit berproduksi. B.Cara yang benar mengnalisa dan menginterpretasi sejarah Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki peradaban yang cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan dari masa lampau yang sangat menkajubkan. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mewarisi peradaban yang luhur untuk dipelajari sebagai ilmu pengetahuan. Beberapa warisan tesebut dapat dilihat hingga kini seperti Candi Borobudur yang dibangun pada masa Mataram kuno, Situs Trowulan yang diperkirakan berasal pada masa Majapahit abad 14, hingga beberapa prasasti dan teks-teks kuno. Melihat peninggalan masa lampau yang begitu banyak maka diperlukanlah suatu ilmu yang dapat merekonstruksi peristiwa masa lampau. Ilmu tersebut ialah ilmu Sejarah. Ilmu sejarah yang kita kenal merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau, namun bukan berarti sejarah hanya berpijak dimasa lampau saja, namun sejarah juga berpijak dimasa depan. Sebagai ilmu pengetahuan, maka sejarah pun memiliki perkembangan, terutama dari segi penulisan. Penulisan sejarah atau Historiografi ternyata berkembang dari masa ke masa. Historiografi pun berkembang sejak jaman kemerdekaan. Menurut Sartono Kartodirdjo, penulisan sejarah Indonesia berkembang dari berbagai cakrawala diantaranya dari religio kosmoginis ke sejarah kritis, dari etnocentrism ke natiocentris, dari kolonial elitis ke sejarah Indonesia secara keseluruhan. Ilmu sejarah memiliki tahap-tahap kritis dalam perkembangannya manakala muncul pemahaman yang dikenal dengan posmodernisme. Mereka yang termasuk dalam peham ini ialah Derrida, Lyotard. Foucault, yang dianggap hanya membongkar-bongkar tatanan dan menihilkan segala hal. R.Z. Leirissa menganggap bahwa kaum posmodernisme ini sudah terlalu berbahaya dalam mengkritik ilmu sejarah karena posmo berpandangan negatif terhadap fakta, objektivitas dan kebenaran yang menjadi pokok kajian sejarah. Kaum posmo ini selalu meragukan tentang penulisan sejarah itu apakah benar atau tidak. Mereka bahkan menganggap bahwa sejarah hanyalah permainan kata-kata yang ditulis oleh sejarawan seperti kata-kata “revolusi”, “Pemberontakan”, dan lain-lain. Mereka ini terpengaruh pada pemikiran kaum skeptis yang selalu ragu-ragu terhadap segala hal yang berasal dari pemikiran manusia. Kritik yang ditunjukkan oleh kaum posmodernisme ini menjadi cambuk bagi para sejarawan agar dapat mengembangkan ilmu sejarah ke arah yang lebih baik untuk memecahkan permasalahan-permasalahan sosial. Selama ini Historiografi Indonesia dilakukan dengan metode naratif dimana kisah sejarah ditulis bukan berdasarakan pada permasalahan namun bertumpu pada urutan waktu dan kejadian-kejadian yang unik. Metode naratif ini sudah lama ditulis oeh para sejarawan sehingga sejarah terkesan sebagai cerita dongeng daripada ilmu pengetahuan. Penulisan sejarah yang seperti ini menjadi celah bagi kaum posmodernisme untuk menyudutkan ilmu sejarah. Dalam menangkal kaum posmodernisme maka dibutuhknlah penulisan sejarah yang bertumpu dengan pendekatan multidimensional dan sedikit demi sedikit meninggalkan metode naratif. Metode multidimensional dapat dijuga disebut dengan metode developmentalisme, yang akan melihat pola-pola perkembangan, kelangsungan serta perubahan. Pendekatan multidimensional ini dipelopori oleh Sartono Kartodirdjo dengan disertasinya yang berjudul Pemberontkan Petani Banten 1888. Sartono menekankan bahwa jika ilmu sejarah ingin berkembang maka sejarah harus melakukan pendekatan multidimensional dengan bantuan ilmu-ilmu sosial yang terus berkembang secara dinamis. Pendekatan yang dilakukan Sartono ini nampaknya merupakan sebuah pendekatan yang akan memberikan peran lebih terhadap ilmu-ilmu sosial dalam membantu memcahkan permasalahan pada masa lampau. Dalam menggunakan ilmu sosial tentu masyarakat kecil akan lebih berperan dalam jalannya sejarah. Selama ini penulisan sejarah hanya menonjolkan peran dari masyarakat elit saja seperti raja, hulubalang, priyayi, presiden, pemimpin militer atau para birokrat namun jarang sekali mengangkat peran rakyat kecil dalam penulisan sejarah karena itu pendekatan ini juga dapat disebut pendekatan yang demokratis. Pendekatan multidimensional ini merupkan kemajuan dalam ilmu sejarah karena dengan melakukan pendekatan ini maka akan memberikan warna baru dalam penulisan sejarah seperti adanya penulisan sejarah tentang sejarah iklim, sejarah kuliner, sejarah petani, sejarah alat transportasi dan lain sebagainya. Namun sayang anjuran pendekatan yang dilakukan ini tidak dilakukan, terutama dalam penerapan multidimensi, tetapi yang lebih banyak dianut “Indonesia sentrisnya”. Jadi pendekatan terhadap teori-teori ilmu sosial dalam penulisan sejarah pun masih kurang. Pendekatan yang dilakukan hanyalah lebih kepada pembalikan kata-kata misalnya dari “pemberontak” menjadi “pahlawan”. Perkembangan jaman memang telah menuntut ilmu pengetahuan untuk berkembang pula agar suatu ilmu tidak kehilangan fungsinya sebagai problem solver. Ilmu sejarah merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang harus berkembang dari segi penulisan. Pendekatan naratif yang selama ini dipakai oleh para sejarawan nampaknya tidak lagi relevan dalam perkembangan jaman yang begitu cepat. Solusi dari permasalahan itu ialah dengan melakukan pendekatan multidimensional yang mana ilmu sejarah harus meminta bantuan ilmu-ilmu sosial dalam memecahkan permasalahan sosial dimasa lampau. Pendekat multidimensioanal harus terus menerus diterapkan dalam penulisan sejarah, bukan hanya sebagai simbol saja agar ilmu sejarah dapat berkembang. Prof. Dr. Kuntowijoyo dalam buku Pengantar Ilmu Sejarah menerangkan bahwa kesimpulan sejarah harus didasarkan dengan empat tahapan : 1.Heuristik merupakan langkah awal dalam penelitian sejarah untuk berburu dan mengumpulkan berbagi sumber data yang terkait dengan masalah yang sedeang diteliti, misalnya dengan melacak sumber sejarah tersebut dengan meneliti berbagai dokumen, mengunjungi situs sejarah, mewawancarai para saksi sejarah; 2.Kemudian masuk kritik atau pengujian kebenaran dari data yang disajikan tersebut. Seandainya sudah betul-betul lulus uji alias kebenarannya tidak disangsikan maka data itu disebut fakta sejarah. Kritik merupakan kemampuan menilai sumber-sumber sejarah yang telah dicari (ditemukan). Kritik sumber sejarah meliputi kritik ekstern dan kritik intern. 1.Kritik Ekstern Kritik ekstern di dalam penelitian ilmu sejarah umumnya menyangkut keaslan atau keautentikan bahan yang digunakan dalam pembuatan sumber sejarah, seperti prasasti, dokumen, dan naskah.Bentuk penelitian yang dapat dilakukan sejarawan, misalnyatentang waktu pembuatan dokumen itu (hari dan tanggal) atau penelitian tentang bahan (materi) pembuatan dokumen itu sndiri.Sejarawan dapat juga melakukan kritik ekstern dengan menyelidiki tinta untuk penulisan dokumen guna menemukan usia dokumen. Sejarawan dapat pula melakukan kritik ekstern dengan mengidentifikasikan tulisan tangan, tanda tangan, materai, atau jenis hurufnya. 2.Kritik Intern Kritik Intern merupakan penilaian keakuratan atau keautentikan terhadap materi sumber sejarah itu sendiri. Di dalam proses analisis terhadap suatu dokumen, sejarawan harus selalu memikirkan unsur-unsur yang relevan di dalam dokumen itu sendiri secara menyeluruh. Unsur dalam dokumen dianggap relevan apabila unsur tersebut paling dekat dengan apa yang telah terjadi, sejauh dapat diketahui berdasarkan suatu penyelidikan kritis terhadap sumber-sumber terbaik yang ada.; 3.Selanjutnya masuk interpretasi. Fakta-fakta sejarah tadi kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bantuan ilmu-ilmu sosial atau ilmu bantu lainnya sehingga dapat diketahui hakikat dibalik kejadian sejarah atau fakta sejarah; 4.Historiogray adalah proses penyusunan fakta-fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data-data yang ada, sejarawan harus sadar bahwa tulisan itu bukan hanya sekedar untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk dibaca orang lain. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisan nya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat mengerti pokok-pokok pemikiran yang diajukan. Manusia dalam dimensi waktu, selalu memberikan sisi misteriusnya yang sulit untuk dijelaskan secara ilmiah. Aspek pemikiran manusia dalam hal inovasi memang terus mengalami perkembangan yang signifikan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini merupakan salah satu faktor pendorong lahirnya gerak sejarah. Munculnya sebuah peradaban dalam realita historis telah membantu kehidupan manusia masa kini, dan bahkan, di masa depan. Sejarah dijadikan sebagai sebuah alur pijakan dalam merevitalisasi setiap aspek internal dalam struktur sosial umat manusia. Sejak ilmu diplomatik diciptakan oleh Mabillon (1632-1707), pemakaian dokumen sebagai sumber sejarah mulai memerlukan kritik ekstern dan kritik intern. Kritik secara ekstern memiliki orientasi atas otentisitas sumber sejarah. Apakah sumber yang digunakan otentik atau tidak, yaitu kenyataan identitasnya, bukan tiruan atau palsu. Aktualisasi kritik ini dilakukan secara analitik, mendalam, dan penuh ketelitian. Aspek inilah yang memiliki hubungan erat dengan kualitas seorang sejarawan dalam mengaktualisasikan fakta sejarah dalam persfektif kontemporer. Kritik intern memiliki orientasi atas kredibilitas, yakni bisa dipercayakah sumber, isi dokumen, fakta-fakta, dan pernyataannya. Untuk itu, perlu dilakukan identifikasi penulis, dari hal sifat dan wataknya, daya ingat, jauh dekatnya dengan peristiwa dalam dimensi waktu, dan lain sebagainya. C.Sistematika penulisan sejarah untuk periode sejarah kontinum 1.Historiografi tradisional Bentuk-bentuk historiografi tradisional adalah merupakan tradisi penuturan dan penulisan yang berkembang di dalam masyarakat yang kehidupan dan kebudayaannya bersahaja. Oleh karenanya dapat juga disebut sebagai historiografi primitif. Dalam kenyataannya masyarakat tradisional atau primitif telah menghasilkan beberapa bentuk historiografi yang adakalanya tertulis atau dalam bentuk penuturan lisan. Diantara bentuk-bentuk historiografi tradisional itu ialah: a.Mitos Bentuk mitos adalah penulisan atau penuturan sejarah yang merupakan penggambaran kenyataan melalui proses emosional dan kepercayaan. Biasanya mitos mempunyai fungsi membuat masa lampau bermakna dengan memusatkan kepada bahagian-bahagian masa lampau yang mempunyai sifat tetap dan berlaku secara umum. Di dalam mitos tidak ada unsur waktu dan tidak ada masalah kronologi . Bentuk ini di Indonesia terlihat seperti pada penulisan. b.Genealogis Bentuk ini merupakan penggambaran sejarah yang melukiskan tentang hubungan individu dengan individu lainnya berdasarkan keturunan (pertalian darah) atau pertautan antara satu generasi dengan generasi yang lain. Penulisan genealogis biasanya berkembang dalam masyarakat tradisional, terutama yang mempunyai pandangan kesukuan yang sangat besar dan pengungkapannya sering ditujukan sebagai upaya mewujudkan legitimasi atau pengakuan atas seorang individu dan keturunannya di lingkungan masyarakatnya. Di Indonesia terdapat tradisi seperti penulisan silsilah dalam masyarakat Makassar dan masyarakat Bugis. c.Kronik Bentuk kronik ialah pengisahan sejarah yang telah didasarkan atas kesadaran waktu, yaitu dengan menempatkan urutan peristiwa dalam dimensi waktu tertentu. Bentuk ini setidaknya adalah awal dari sejarah yang berpusat pada tindakan manusia serta sudah memperlihatkan hal-hal yang esensial bagi cerita sejarah, yaitu adanya batasan waktu dan urutan sejarah. Babad Tanah Jawi dan Serat Jangka Jayabaya dari masyarakat Jawa dan beberapa penulisan sejarah tradisional di Sulawesi Selatan, agaknya adalah merupakan contoh yang baik untuk penulisan kronik di Indonesia. d.Annal Annal adalah pemaparan sejarah masa lalu yang telah menempatkan fakta peristiwa dalam konteks waktu tertentu, akan tetapi penulisannya sering kali terbebas dari urutan fakta kronologis. Dalam bentuk ini sudah terlihat adanya jaringan persepsi dan interpretasi penulisnya, malah sudah terdapat pula penempatan gejala (fakta) dalam suatu totalitas yang mencerminkan pandangan masyarakat penganutnya. Annal adalah perkembangan lanjutan dari bentuk kronik, bahkan bentuk ini dianggap merupakan fase transisi antara penulisan epos tradisional dengan historiografi modern. Penulisan sejarah bentuk annal seperti ini terlihat pada penulisan hikayat-hikayat, Sejarah Melayu. 2.Historiografi Modern Penulisan sejarah tradisional seperti telah dikemukakan terdahulu, lebih merupakan bahagian karya sastra ketimbang karya sejarah. Penulisan sejarah di sini lebih banyak mengutamakan kepentingan pesan yang akan disampaikan, oleh karenanya pengungkapan fakta sering tidak mempertimbangkan antara yang mungkin dan yang tidak mungkin, serta bercampur aduknya antara fakta dengan peristiwa-peristiwa fiktif, magis dan sebagainya. D.Kecenderungan sejarah Indonesia memberikan catatan tentang adanya misianistis 1.Ratu adil Selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Indonesia terus-menerus timbul pemberontakan, kerusuhan, kegaduhan, brandalan dan sebagianya, yang semua itu cukup menggoncangkan masyarakat dan pemerintahan waktu itu. Peristiwa-peristiwa itu terutama sekali banyak terjadi di daerah pedesaan. Gerakan yang hampir terjadi tiap tahun ini mengambil bentuk radikal yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran mesianistis atau mileranistis dan juga dengan pandangan eskatologi yang bersifat revolusioner. Motivasi yang melatari tindakan radikal itu bisa bervariasi, begitu pula dengan bentuk-bentuk gerakan yang mereka jalani. Gerakan mesianistis paling tua terkenal dengan apa yang disebut Pemberontakan Diponegoro (yang lebih dahulu) pada sekitar tahun 1720. Selama abad ke-19 gerakan semacam ini tersebar luas ke seluruh daerah Jawa dan muncul dalam wajah yang beragam. Dalam pertengahan pertama dari abad itu secara berurutan gerakan itu muncul secara lokal, dan tercantum dalam laporan tertulis sehingga jelas menunjukkan bahwa harapan-harapan mesianistis di kalangan rakyat merupakan faktor yang penting di mata pemerintah. Sifat nativistis dari gerakan itu tercermin dalam harapan-harapannya akan kembalinya kerajaan pribumi. Selama pertengahan kedua abad ke-19 ide mesianistis semakin tampak. Sartono Kartodirdjo menjelaskan, perkembangan yang telah dicapai dalam tahun 1880-an mengisyaratkan bahwa gerakan kegamaan berusaha membenarkan aspirasi-aspirasi politik. Di satu pihak ada rasa ketersingkiran politik, dan di lain pihak memperkuat kembali tradisi. Mayoritas keum elite agama, yang sudah kehilangan hak-hak mereka di bidang politik, bertindak sebagai sebagai kelompok protes, yang menantang lembaga-lembaga baru. Kehadiran lembaga dan suasana kehidupan baru, tentu akan memicu banyak reaksi manakala isi yang dibawanya tidak aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat. Akibatnya, kebangiktan kebali tradisi, baik berlatar agama maupun kultur setempat, menjadi hal yang lumrah, guna menekan dan meminimalisir terjadinya alienasi serta ketertindasan rakyat bawah. Dalam segi-segi keagamaan, gerakan ini selalu menyertakan unsur-unsur nativistis, kehidupan kembali mitos-mitos lama atau suatu kerinduan terhadap kembalinya zaman keemasan pada masa lampau. Kerinduan rakyat untuk menemukan kembali zaman keemasan yang mistis itu, ditunjukkan dalam ramalan-ramalan mesianistis, dan rakyat melahirkan rasa dendamnya terhadap pemerintah asing, serta keinginan mereka untuk mengusirnya tergambar dalam penghidupan kembali harapan-harapan mereka akan kedatangan Ratu Adil. Tetapi harapan-harapan itu selalu mengandung diagnose terhadap keburukan kehidupan sosial dan ekonomi yang telah mencekik penduduk pedesaan. Gerakan perlawanan rakyat di masa ini memang kebanyakan dipicu oleh semangat yang bersifat milenaristis-mesianis. Ide milenaris meyakini bahwa kelak akan tiba suatu tatanan masyarakat yang seluruhnya baru, yang melenyapkan segala kekurangan yang ada sekaligus. Ide ini memimpin berbagai macam gerakan revolusioner primitif dalam masyarakat tradisional. Sedangkan ide mesianis meyakini akan datangnya seorang mesias, sang juru selamat adikodrati. Dalam mitos Jawa, sang mesias disebut ratu adil atau Eurokoco, seorang yang pada suatu saat akan datang membawakan kemakmuran yang berlimpah. Gerakan milenaris di Jawa mempunyai ciri nativisme, atau kepribumian, yaitu gejala yang menunjukkan adanya kebencian yang kuat terhadap penguasa asing, yang dianggap bertanggungjawab akan keruntuhan masyarakat yang sedang berjalan dan hasrat untuk kembali kepada masyarakat sebelum tibanya orang asing. Perlawanan Pangeran Diponegoro antara tahun 1825-1830 merupakan contoh yang tepat untuk menggambarkan semangat milenaris-mesianis dalam menghadapi kolonial Belanda. Boleh kita katakan bahwa beliau termasuk seorang intelektual pada jamannya karena mampu mengolah alam pikir rakyat saat itu menjadi semangat untuk mengusir penjajah kolonial yang sewenang-wenang. 2.Seni budaya Dalam menghadapi perubahan masyarakat yang ekstensif diperlukan upaya kultural, dimana hubungan manusia yang bermakna dalam kehidupan hendaknya diberi ruang lingkup bergerak bagi nilai-nilai dan norma-norma untuk memperoleh keseimbangan baru dalam mengatur hidup, baik secara perorangan maupun kelompok. Dalam kondisi seperti itu besar kemungkinan akan diketemukan bentuk-bentuk budaya baru yang akan memberikan makna bagi kehidupan masyarakat. Sartono Kartodirdjo dalam bukunya “Pemikiran dan perkembangan Historiografi Indoneisa” menyatakan bahwa “Kultur dan komunitas kultur dalam perjalanannya dari suatu fase ke fase yang lain dalam perkembangannya sangat ditentukan oleh seni budaya. Maka semua menumen dari masa lampau adalah menumen estetis. Seni suara, seni tari, seni bangunan, seni sasatra dipakai untuk mengkomunikasikan upacara-upacara, yang menyusun ikatan-ikatan sosial manusia”. Hubungan antara seni budaya dan kehidupan kolektif terdapat interaksi antara kreaktivitas seseorang dan kesadaran akan potensi kreativitas untuk mengkomunikasikan makna, sehingga mampu untuk mempersatukan pengalaman kolektif dari berbagai kelompok. Eksprisi kreatif dapat dipandang sebagai aktifitas kolektif dan perseorangan yang mempengaruhi pengalaman manusia serta memberi kemungkinan kepada kita untuk menentukan identitas diri. Fungsi komunikatif dan makna yang dikandungnya tidak dapat dilupakan begitu saja dalam mempelajari seni budaya. Tidak hanya berasal dari mana makna itu, tetapi juga tujuan yang hendak dicapai seberapa jauh dapat mempengaruhi masyarakat. Karya-karya seni budaya dari suatu masa tertentu berfungsi sebagai penyaring dari pengalaman kolektif, karena merupakan wadah bagi berbagai permasalahan pada jamannya. Sekalipun karya artis merupakan kristalisasi jamannya, akan tetapi dapat melampaui struktur sosial dan lingkungan sehingga mempunyai sifat universal. 3.Gerakan sosial Pada tahun 1903 seorang kiai dari desa Samentara di Kabupaten Sidoarjo, bernama Kasan Mukmin, mulai bertindak sebagai orang yang menerima wahyu dan mengaku sebagai pejelmaan Imam Mahdi yang akan mendirikan sebuah kerajaan baru di Jawa. Ia berkhotbah bahwa perang jihad akan diumumkan untuk melawan pemerintah Belanda. Sebelum memproklamirkan diri sebagai juru selamat, Kasan Mukmin telah mengumumkan sekelompok pengikut di sekelilingnya. Ia membagi-bagikan jimat dan menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit. Berlatarbelakang sebagai seorang santri dan punya koneksi dengan beberapa orde tarekat, Kasan memobilisir sekaligus meyakinkan pengikutnya akan kemenangan terhadap senapan-senapan Belanda. Di samping dimodali kepercayaan akan kesaktian tertentu, misalnya kekuatan kebal peluru, mereka juga ‘dihibur’ oleh kenikmatan surgawi jika memang harus mati di medan petempuran. Karenanya, tak perlu khawatir untuk meninggalkan anak-istrinya, mereka akan terpelihara. Menurut rencana semula, pemberontakkan akan dilaksanankan pada hari Minggu 29 Mei atau Ahad Legi 14 Maulud, kemudian dimajukan pada hari Jumat tanggal 27 Mei bertepatan dengan Grebeg Maulud, yaitu perayaan hari kelahiran Nabi. Singkat cerita, melalui ritus dan penggunaan simbol-simbol khusus, rombongan yang kurang lebih bejumlah seratus orang tersebut akhirnya bertempur sengit dengan Bupati Sidoarjo. Pertempuran berakhir singkat, dan dalam kondisi ketakutan para pemberontak melarikan diri untuk menghindari tembakan dari pasukan pemerintah. Gerakan mesianisme pada tahun 1907 di desa Bendungan wilayah Kabupaaten Berbek di Karesidenan Kediri. Pemimpin dari gerakan ini bernama Dermodjojo, seorang petani kaya dari desa Bendungan yang berusia 60 tahun. Di samping tersebar di masyarakatnya bahwa ia punya cerita ajaib di masa kelahirannya, ia juga termasuk seorang santri tekun yang berkeliling untuk menimba ilmu dari beberapa pesantren dan Kiai. Perbauran antara gerakan milenaristis dan gerakan sosial modern muncul dalam gerakan Serekat Islam, yang pada dasarnya memperlihatkan sifat-sifat milenaristis yang kuat, seraya di “bangunan atas” ia merupakan gerakan yang modern dan rasional walaupun tidak merupakan gerakan sosial yang revolusioner. Seperti telah dikemukakan bahwa dalam tradisi Jawa yang milenaristis tokoh mesias-raja memainkan peranan penting. Hal ini kita lihat juga dalam milenarisme yang terjalin dalam Serikat Islam di Jawa. Harapan yang ditimbulkan atau digerakkan oleh Serikat Islam akan datangnya mesias-raja kebanyakan tertuju kepada keraton Surakarta. Kenyataan bahwa Serikat Islam timbul di ibukota kerajaan ini memainkan peranan yang sangat penting. Harapan mesianistis dalam rangka Serekat Islam sesungguhnya tidak hanya tertuju kepada Susuhunan Surakarta. Beberapa kali kita jumpai pula contoh tentang harapan yang tertuju pada Mangkunegara. Residen Surakarta menyatakan bahwa pada kongres Serekat Islam di Surakarta pada tahun 1913, tersebar desas-desus bahwa H. Samanhudi bertindak sebagai utusan susuhunan disana, hal yang sama pula terjadi dengan beredarnya cerita tentang Tjokroaminoto di sekitar Sidoarjo, daerah Surabaya. Pemimpin-pemimpin Serekat Islam kadang-kadang menjadi tumpuan harapan mesianistis. Hal ini terutama berlaku bagi Tjokroaminoto. Juga Goenawan menimbulkan harapan demikian pada rakyat Sumatra Selatan. Mengenai Tjokroaminoto sendiri, Bupati Surabaya menyebutkan dalam suatu nota tentang gerakan Serekat Islam: keterangan saksi yang menyatakan bahwa Tjokroaminoto sebagai “raja” Serekat Islam. Dalam kedudukan ini orang menghubungkannya dengan raja yang akan datang yang menurut ramalan Jayabaya pasti akan tiba. Di Jawa Barat diumumkan bahwa Tjokroaminoto-lah yang akan menjadi raja Jawa yang baru. Juga terdapat suatu laporan saksi mata tentang bagaimana Tjokroaminoto disambut oleh rakyat Situbondo dan sekitarnya, di Jawa Timur yang memberikan kesan kuat bahwa Sang juru selamatlah yang disambut, bukan pemimpin utama Sarekat Islam. BAB III PENUTUP A.Kesimpulan Peristiwa masa lampau baru menjadi sejarah apabila sudah diberi penafsiran. Penafsiran sejarah dituntut adanya validitas obyektif, penafsiran sejarah tidak selamanya dianggap benar, kadang-kadan tidak sesuai lagi dengan zamannya. Keragaman penafsiran sejarah, disebabkan karena adanya perbedaan cara berpikir manusia, kepentingan dan kemampuan. Perbedaan cara berfikir manusia dipengaruhi oleh pandangan hidupnya dan pandangan manusia terhadap alam semesta. Interpretasi sangat esensial dan kursial di dalam metodolgi sejarah. Interpretasi dapat dilakukan dengan analisis dan sitetis. Analisis adalah salah satu model membuat interpretasi. Dari data yang bervariasi dapat dianalisis setelah ditarik secara induktif sehingga dapat disimpulkan. Dengan terciptanya beberapa formula metodologis ini, sejarah akhirnya menjadi lebih dari sekedar cerita masa lalu, namun suatu pengungkapan kebenaran pengetahuan tentang masa lalu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian, sejarah dapat memasuki wilayah epistemologi sebagai suatu disiplin ilmu, sekaligus merupakan awal bagi historiografi memasuki periode modern. Sejarah Indonesia cenderung memberikan catatan tentang adanya misianistis, yang melahirkan gerkan sosial dan kepercayaan adanya pemerintahan yang adil. Seperti yang dikemukakan oleh Sartono dalam bukunya “Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif”, terdapat enam ketegori pergerakan sosial; (1) Perbanditan sosial, gerakan ini mencakup perampokan, pe-ngacau-an, penyamunan; kegiatan itu bertentangan dengan pihak yang berkuasa atau tata tertib mayarakat, (2) Gerakan memprotes keadaan atau peraturan yang tidak adil, (3) Gerakan-gerakan yang sifatnya revivalistis, yaitu kegiatan-kegiatan yang bertujuan agar rakyat lebih rajin menjalankan kewajiban agamanya, (4) Gerakan yang bercorak narivistis, gerakan yang bertujuan untuk menegakkan kembali kerjaan kuno, (5)Gerakan mesianistis, yaitu gerakan yang memuat harapan akan kedatangan Ratu Adil atau Imam Mahdi, (6) Gerakan yang dijiwai oleh semangat perang sabil. B.Saran Sebagai sejarawan akademik sebaiknya dalam menuliskan sejarah, sebaiknya bersikap netral kepada mazhab-mazhab tertentu, tidak terlalu percaya kepada penukil berita sejarah, tidak berprasangka keliru terhadap apa yang didengar dan dilihat. Dalam penyusun historiografi sebaiknya memandang kejadian-kejadian masa lalu pada jamannya, tidak boleh melihat kejadian masa lalu sebagai masa kini. Oleh karena itu, maka perlu melihat metodologi sejarah sebagai acuan dalam penulisan historiografi. DAFTAR PUSTAKA Ankersmith. 1987. Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. Jakarta : Gramedia. Hall, D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya : Usaha Nasional. Hegerl, G.W.E. 2007. Filsfat Sejarah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hugiono & Poerwantana, P.K. 1987. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta : Bina Aksara. Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia. ----------- 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia. Pranoto, Suhartono W. 2010. Teori dan Metologi Sejarah. Yogyakarta : Graha Ilmu. Puspenogoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia I - VI, Jakarta : Balai Pustaka. Winemburg, Sam. 2006. Berfikir Historis, Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Tidak ada komentar: