Rabu, 29 Juni 2011

Ketika Konflik diterpa Badai

KETIKA KONFLIK DITERPA BADAI
Tulisan ini diawali sebuah fenomena alam yang sangat dahsyat diseluruh belahan bumi, ketika manusia lupa diri, dan tidak pernah memahami dirinya sendiri, karena kekufurannya terhadap penciptanya. Konflik sebenarnya tidak perlu terjadi jika mampu memahami fungsi kita masing-masing. Maka sangat disayangkan jika manusia tidak mau memahaminya.
Secara historis, teori konflik mucul pada tahun 1960 di dalam kalangan sosiologi Amerika, yang membangkitkan kembali berbagai gagasan yang dikemukakan oleh Karl Marx dan Max Weber. Maskipun keduanya sama-sama pengagas teoritis konflik, tetapi mereka sebenarnya berbeda. Bahkan teori konflik modern terpecah menjadi dua tipe utama, yaitu (1) Teori konflik neo Marxian, dan (2) Teori konflik neo Weberian (Nazsir, 2009 :17). Kedua teoritis ini memandang konflik dan pertentangan kepentingan serta concern dari berbagai individu kelompok yang saling bertentangan adalah determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial (Nazsir, 2009 :17).
Menurut Marx, bahwa karena konflik pada dasarnya muncul dalam upaya memperoleh akses terhadap kekuatan-kekuatan produksi. Karenanya begitu kekuatan-kekuatan ini dikembalikan kepada seluruh masyarakat, maka konflik dasar tersebut akan dapat dihapuskan. Jadi begitu kapitalis digantikan dengan sosialisme, maka kelas-kelas akan terhapuskan dan pertentangan kelas akan berhenti.
Sedangkan Weber memiliki pandangan yang jauh pesimistik. Ia percaya bahwa pertentangan merupakan salah satu prinsif kehidupan sosial yang sangat kukuh dan tak dapat dihilangkan. Dalam suatu tipe masyarakat masa depan, baik kapitalis, sosialis atau tipe lainnya orang-orang akan tetap selalu bertarung memperebutkan berbagai sumber daya. Karena itu Weber menduga bahwa pembagian atau pembelaan sosial adalah ciri permanen dari semua masyarakat yang sudah kompleks, awalaupun tentu saja akan mengambil bentuk-bentuk dan juga tingkat kekerasan yang secara substansial sengat bervareasi. (Nazsir, 2009 :20).
Dengan pandangan tersebut di atas, maka seluruh permasalahan sosial yang terjadi dewasa ini, dapat terselesaikan manakala seluruh kekuatan masyarakat dikembalikan pada fungsi-fungsinya. Namun dalam penyelesaian suatu masalah bisa saja terjadi korban, minimal korban perasaan.
Jika ditinjau dari sudut pandang budaya Bugis, maka konflik merupakan suatu yang hal yang wajar terjadi. Kalau ada sebuah komunitas tidak pernah terjadi konflik didalamnya, maka komunitas itu perlu dipertanyakan, ataukah komunitas itu berisi orang-orang yang tidak waras. Pertentangan-pertentangan yang terjadi merupakan dinamika dari komunitas itu sendiri, yang menandakan bahwa yang mengisinya adalah orang-orang yang waras, karena mereka tentu mempertentangkan apa yang menjadi hasil pemikiran mereka, dan bagaiman langkah kedepannya.
Kalau pertentangan tidak dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat, maka konsep umum yang biasanya ditempuh adalah dengan menggunakan jasa pihak ketiga, seperti mediator yang memiliki kemampuan untuk tidak merugikan kedua belah pihak. Jikalau tidak dapat terselesaikan dengan jasa pihak ketiga. Maka dalam adat Bugis di masa lalu, penyelesaian yang terakhir adalah diselesaikan di “cappa badik”. Janganlah kaget karena penyelesaian yang terakhir ini, pada masa lalu seringkali digunakan. Tetapi sekarang jangan coba-coba digunakan, karena dampaknya anda bisa kena hukuman berat, alias di penjara.

Tidak ada komentar: