Selasa, 13 Maret 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Pangkep yang dikenal sebagai kawasan tiga dimensi yakni dataran rendah, dataran tinggi (pegunungan), dan wilayah kepulauan. Kabupaten Pangkep mayoritas dihuni oleh dua etnis yakni etnis Bugis dan Makassar. Oleh karena itu gelar bangsawan yang ada di Pangkep yaitu gelar puang yang diberikan kepada keturunan bangsawan Bugis dan karaeng diberikan kepada keturunan bangsawan Makassar. Puang dan karaeng menghasilkan pola perilaku masyarakat Pangkep. Pola perilaku itu bertumpu pada orientasi kognitif masyarakat. Ia merupakan hasil dari arahan sitem nilai yang hidup dalam alam pikiran manusia secara perorangan, dan juga hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat. Bila dilihat dari dalam sistem sosial dan budaya masyarakat Pangkep masa kini, maka dengan sapaan puan dan karaeng melekat pada pelapisan sosialnya. Keadaan itu terjadi karena adanya peran dan status para puang dan karaeng dalam pranata masyarakat dari masa ke masa, yang memberi tempat berbagai elemen budaya yang melekat padanya. Hal itu muncul dari anggapan masyarakat, bahwa di dalam diri puang dan karaeng mengalir darah suci yang berasal dari dewa yang diturungkan melalui Tomanurung. Hal ini bermakna penting pada darah yang diharapkan mengemban suatu tugas suci untuk menjaga keseimbangan kosmos demi kepentingan rakyat. Karena pengertian itulah, maka akhirnya puang dan karaeng banyak terpaut dalam berbagai peran politik yang mewarnai sejarah Sulawesi Selatan khususnya di Pangkep. (Rahman, 1988). Bagi orang Bugis, sapaan puang masih didengar dan digunakan untuk meraka yang tergolong dalam lapisan ana’karung dan ana’mattola. Lapisan itu merupakan puncak dari piramida sosialnya, dan ukuran kadar darah takku yang merupakan utama. Lapisan arung (raja) dan lapisan kaum ada (kaum adat) sulit untuk dikenal secara jelas berdasarkan penggunaan sapaan, karena sapaan puang digunakan untuk kedua golongan itu. Hal ini tersebut terjadi akibat suatu proses sejarah yang panjang melalui alur politik penguasaan dan perkawinan antara keduanya. Pemeliharaan panngaderreng sangat diharapkan dari para puang untuk menjaga dan memelihara keseimbangan kosmos. Keseimbangan itu sangat dibutuhkan agar unsure-unsur panngaderreng berupa ade, bicara, rapang, wari, dan sara dapat berjalan wajar dan berfungsi secara baik. Tidak berfungsinya salah satu unsur dari pangngaderreng, mengakibatkan munculnya berbagai ketimpangan sosial di masyarkat. Salah satu ketimpangan nyata dewasa ini adalah sapaan puang yang terdengar tidak lagi memenihi aturan-aturan pangngaderreng (Rahim dalam Rahman, 1988). Dalam kalangan suku Makassar, terdapat dua golongan Bangsawan yang disebut ana’ karaeng ri Gowa dan ana’ karaeng maraengannaya (bangsawan yang lain). Golongan yang pertama selalu muncul dengan ukuran daerah Tomanurung, dan golongan yang kedua mucul dari kalangan turunan adat setempat yang dipandang sebagai pelindung. Kelompok yang kedua biasa disebut Daeng, yang sering tampil pada saat ada perlakuan yang akan merusak rakyat (Mattulada, 1985). Berbicara mengenai sejarah kebangsawanan berarti mengulas satu periode kekuasaan dimana bekas-bekas etik dan kultur kerajaan masih membekas. Jauh sebelum pemerintahan kekaraengan ( regentschappen onderafdeeling Pangkajene), daerah-daerah bekas wilayah Kerajaan Siang, Lombasang, Barasa, dan Segeri populer sebagai daerah penghasil beras. Selain potensi ekonomi dan pertanian yang begitu besar, daerah Pangkep di masa lampau juga potensi dengan politik besar. Pangkep masa lampau menyandang nama besar Kerajaan Siang sebagai kerajaan maritim yang menghubungkan perdagangan dari sebelah barat kepulauan nusantara ke nusantara bagian timur. Menurut Andaya (2004) kejatuhan Siang memberi Gowa tenaga ahli dan pakar dalam berbagai bidang pertanian padi sawah, besi, tukang kayu, ahli bangunan, ahli emas yang lambat laun menenggelamkan kebesaran nama Siang. Abidin (1999), mengatakan bahwa Siang adalah kerajaan Makassar terbesar di masanya yang bersaing dengan Luwu, kerajaan bugis terbesar di sebelah utaranya dengan perbatasan pengaruh antara keduanya adalah (Sidrap saat ini). Sementara Lombasang yang saat ini dikenal dengan Labbakang (tetangga Siang di sebelah utara) adalah salah satu dari tiga kerajaan disegani dengan rajanya bergelar sombaya. Makkulau (2008), mengemukakan konon, ketika raja Gowa bertandang ke Lombasang, somba Labbakkang tidak tahu harus memberi apa kepada raja yang datang berkunjung yang sudah dianggapnya sebagai anak. Raja Gowa pun memakluminya karena kebesaran yang dipunyainya juga dimiliki oleh raja Lombasang, akhirnya sang anak hanya meminta kasombang, yaitu gelar yang sama dengan Raja yang juga dihormatinya sebagai bapaknya. Selain itu Lombasang, kerajaan Kuna lainnya yang rajanya yang memakai gelar somba adalah Bantaeng. Dalam periode berikutnya, ketika Lombasang dan Bantaeng menjadi negeri bawahan Gowa, kerajaan yang pernah menguasai nusantara bagian timur ini memaklumkan bahwa hanya ada satu kerajaan yang boleh memakai gelar sombaya yaitu Gowa sendiri. Sejak itupula nama Lombasang diganti menjadi Labakkang. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Pangkajene dan Kepulauan belum bersatu dalam satu wilayah pemerintahan. Pangkajene dengan datarannya berstatus onderafdeeling nama onderafdeeling Pangkajene dibawah taktis Afdeeling Makassar dengan tujuh adat gemenschap yaitu Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Ma’rang, Segeri, Mandalle dan Balocci. Onderafdeeling Pangkajene waktu itu berada di bawah pengawasan seorang gezaghebber setingkat controleur yang berkedudukan di Pangkajene, sedang pemerintahan adatgemenschap dipercayakan kepada karaeng-karaeng yang dipilih oleh rakyat berdasarkan keturunan, dengan persetujuan gezaghebber. Berdasarkan UU No.29/1959, Pangkajene ditetapkan sebagai salah satu daerah otonomi tingkat II, digabung dengan bekas onderafdeeling pulau-pulau, sehingga menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Pangkajene dan Kepulauan (disingkat Kabupaten Dati II Pangkep) yang membawahi Kecamatan yakni (1) kecamatan Pangkejene, (2) Bungoro, (3) Labakkang, (4) Ma’rang, (5) Balocci, (6) Sigeri Mandalle, (7) Liukang Tuppabiring, (8) Liukang Kalmas, dan (9) Liukang Tangngaya. Keberadaan gelar bangsawan di masa kini mengalami perubahan, pada zaman pemerintahan raja-raja, anak bangsawan sangat disegani, tetapi sekarang sudah mengalami perubahan, di mana orang lebih banyak disegani karena tingkat pendidikan, pekerjaan, kekayaan, dan jabatan yang di sandangnya. Reduksi atas status sosial dewasa ini dari kebangsawanan karaeng (Makassar) dan arung atau puang (Bugis) ke jabatan, pangkat, dan kedudukan bukan hanya terjadi di Pangkep, tetapi terjadi hampir semua lapisan masyarakat Bugis Makassar di manapun berada. Stratifikasi sosial yang masih dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat Pangkep khususnya kalangan keluarga yang memiliki garis keturunan bangsawan yaitu prinsip pemberian gelar atau predikat yang disebut ambokemmi makpabbati (hanya pihak ayahlah yang mewariskan strata sosialnya), yang berarti strata sosial anak akan menurun dan diperhitungkan menurut strata sosial pihak ayahnya. Berdasarkan konsep tersebut, maka setiap anak yang lahir dari seorang laki-laki bangsawan akan menjadi bangsawan pula, kendati ibunya seorang hamba sahaya. Sebaliknya, semua anak yang lahir dari seorang laki-laki berketurunan orang kebanyakan akan menjadi orang kebanyakan pula, kendati ibunya adalah bangsawan tinggi atau puteri raja. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan yaitu bagaimana eksistensi gelar bangsawan pada zaman pemerintah kerajaan dan pemerintah otonomi daerah di daerah Pangkep? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan sebagaimana telah dirumuskan di atas. Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui eksistensi gelar bangsawan pada zaman pemerintah kerajaan dan pemerintah otonomi daerah di daerah Pangkep. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, berupa antara lain: 1. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat Pangkep dalam mempelajari sejarah gelar kebangsawanan. 2. Sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut yang relevan dengan gelar bangsawan di daerah lain. 3. Menambah dan memperdalam pengetahuan dalam bidang sejarah yang menyangkut gelar bangsawan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Eksistensi Gelar Bangsawan Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Eksistensi adalah keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Sedangkan menurut Abidin Zaenal (2007:16), “Eksistensi adalah suatu proses yang dinamis, suatu menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya. Dengan eksistensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keberadaan gelar bangawan yang diberikan kepada keturunan raja pada masa pemerintahan kerajaan dan pada masa sekarang atau masa otonomi daerah yang diberi gelar puang (Bugis) dan karaeng (Makassar) B. Sejarah Kekaraengan Pangkep Pangkep merupakan singkatan dari Pangkajene Kepulauan (tanpa kata dan), nanti setelah periode orde baru DPRD-GR Pangkep pada tahun 1967, ditetapkan nama daerah ini menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Pangkajene dan Kepulauan. Kata dan itu dicantumkan diantara kata Pangkajene dengan Kepulauan. Jadi penulisan lengkapnya yang benar adalah Pangkajene dan Kepulauan. Pangkep merupakan daerah yang sangat tua, beberapa sejarawan menduga bahwa sejarah daerah ini sama tuanya dengan sejarah Luwu dan Bantaeng. Daerah ini adalah daerah bekas pusat wilayah kerajaan kuna yang disebut kerajaan Siang. Hasil penelitian arkeologi (kerjasama UNHAS dengan balai penelitian arkeologi Makassar) ditemukan emplasemen situsnya berada di SengkaE, Bori Appaka Kecamatan Bungoro. Kerajaan Siang Kuna adalah sebuah kerajaan yang pernah mengalami masa kejayaan dan kemasyuran sebagai kerajaan besar dan terkemuka di semananjung Barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo. Pada mulanya kekaraengan Pangkajene tersebut bermula dan berasal dari kebangsawanan Barasa, yaitu sebuah wilayah yang sekarang masuk dalam lingkungan Kampung Baru-Baru Towa. (Benny Syamsuddin, 1989 dalam Makkulau, 2007). Pada permulaan abad XVII Karaeng (Raja) Barasa berperang melawan Kerajaan Gowa yang dibantu oleh Raja Lombassang (Labbakkang). Karaeng Barasa kalah dalam peperangan dan dikabarkan “menghilang” secara rahasia bersama perahunya dalam sungai yang bernama “Binanga Sangkara”, muara dari Sungai Kalibone, dahulu merupakan pelabuhan Kerajaan Barasa. Barasa ini merupakan penerus dinasti Siang yang lambat laun telah mengalami kemunduran dalam waktu yang sangat lama karena penyempitan sungai dan pelabuhan Siang yang terletak di sebelah Utara Barasa. Karena kekalahannya, Barasa dimasukkan ke dalam daerah kekuasaan Gowa. (Benny Syamsuddin, 1989 dalam Makkulau, 2007). Arajang dari Barasa (Pangkajene) dinamai “Tabaloba”, diberi sebagai hadiah oleh raja Gowa kepada karaeng Lombasang, dan arajang tersebut dijadikan pusaka arajang dari Lombasang dengan nama “Bolong Kampung”. Raja Gowa kemudian mengangkat seorang karaeng (bate anak karaeng Gowa) untuk memerintah dan berkuasa di Barasa. Setelah karaeng itu wafat, dia digelar Matinroe ri Kammisi yang menggantikannya juga karaeng dari Gowa yaitu karaeng Allu. Raja yang baru ini tinggal di Kampung Siang, sehingga dia disebut juga karaeng Siang. Raja ini mendirikan sebuah Dewan adat yang terdiri dari empat orang anggota, yaitu Kare Kajuara, Kare SengkaE, Kare Lesang dan Kare Baru-Baru. Kepala adat itu diperbantukan pula seorang suro (suruhan). Raja Siang yang Kedua, mentitahkan agar membuat sawah arajang, kemudian diberi nama Nitu, terletak di Kampung Paccelang, untuk itu diangkat seorang kepala yang disebut Oppoka ri Paccelang. Dahulu banyak dari Kampung Paccelang ini meninggalkan kampung halamannya pergi ke Bone menetap, berhubung terjadinya peperangan antara Gowa dan Barasa. Diduga nama Sungai Kalibone yang mengalir antara Balocci dan Baru-Baru Towa berasal dari pemberian nama para pengungsi tersebut. Di Kampung Paccelang dahulu berpusat kalompoang Kerajaan Barasa (M Taliu, 1997 dalam Makkulau, 2007). Sewaktu Gowa kalah perang dari gabungan pasukan Bugis di bawah pimpinan Arung Palakka dengan pasukan Belanda, Arung Palakka Petta TorisompaE dalam tahun 1667 bersama keempat anggota Hadat Siang bersama Oppoka ri Paccelang mengusir raja Siang bersama pengikut-pengikutnya yang berasal dari Gowa. Oppoka ri Paccelang berpihak dan menempatkan diri di bawah naungan perlindungan Bone dan Belanda. Arung Palakka kemudian mengangkat sahabatnya, Joro atau Johoro (Mappasoro’), turunan dari Kerajaan Barasa dahulu menjadi Karaeng Siang dengan gelar “Lo’mo”. Johoro ini dikenal dengan sebutan “Lo’mo I ba’le (penguasa dari seberang) karena dahulu, ia menemani Arung Palakka berangkat ke Jawa dan mengambil bagian dalam peperangan di Pariaman, Sumatera Barat (dalam perjalanan Arung Palakka mencari bantuan kompeni Belanda untuk memerangi Gowa). Joro’ tersebut dianggap orang berani dari Paccelang sehingga gelar itu sampai sekarang melekat sebagai nama daerah “Pa’rasanganna Tobarania”. Sewaktu Belanda mengambil alih kekuasaan Inggris di Celebes, Belanda mengangkat Karaeng Kaluarrang dari Labakkang menjadi kepala regent di Siang dengan gelaran Karaeng oleh rakyat disana, tetapi resminya ia bergelar Lo’mo. Di Kampung Paccelang sampai sekarang terdapat kuburan dari Oppoka ri Paccelang, dekat sebatang pohon Kalumpang yang besar dan telah tua sekali. Setiap kali orang pergi ziarah di tempat pekuburan itu, diziarahinya juga kuburan dari oppoka ri Paccelang. Di Kampung Paccelang ada satu kuburan dari seorang gallarang yang berasal dari Labakkang. Mungkin sekali makam tersebut berasal dari Karaeng Kalluarrang, banyak orang yang mengeramatkan kuburan itu. Sekitar tahun 1964, pernah ditemukan di dalam makam tersebut sebuah piring tua (piring antik). Karaeng Kaluarrang mengendalikan pemerintahan di Siang selama setahun kemudian dipecat dari jabatannya karena ia tidak dapat mengamankan negeri itu. Beliau lalu digantikan oleh Palambe Daeng Pabali, kemudian berhenti juga dari jabatannya. Yang menggantikannya ialah Ince Wangkang, seorang berasal dari kota Makassar (Kampung Melayu). Tetapi rakyat dari Kampung Baru-Baru Tangnga menentang pengangkatan Ince Wangkang tersebut. Karenanya, maka Belanda mengangkat kembali La Palambe Daeng Pabali menjadi regent Siang, tetapi tidak lama kemudian ia tenggelam di lautan sewaktu ia dalam perjalanan membawa uang sima (pajak) ke Pemerintah Belanda di Makassar. La (Matinroe ri Lesang) digantikan oleh anaknya, La Sollerang Daeng Malledja sebagai Karaeng Pangkajene VII (1847-1857). Sewaktu menjabat regent, yang menjadi Sullewatang (wakil raja) adalah La Pappe Daeng Massikki, ipar La Sollerang Daeng Malledja atau menantu kemenakan Karaeng La Pallambeang Daeng Pabali. Menurut beberapa sumber di Pangkajene, Karaeng La Sollerang Daeng Malledja kemudian melarikan diri ke pegunungan (bersembunyi di Bakka) karena takut dituntut dan dikenakan hukuman berhubung ia zalim dalam memerintah daerahnya, namun sumber lain menyebutkan bahwa Karaeng Pangkajene tersebut digulingkan dari tahta kekaraengannya dengan sangat halus, atas usulan La Abdul Wahab Mattotorangpage agar lari masuk hutan berhubung Belanda akan datang menagih sima (pajak) yang tenggelam bersama ayahnya dan beliau diserahi tanggung jawab untuk membayarnya. Karena merasa tak sanggup membayar sima (pajak) tersebut dan sebelum ia mendapati informasi yang benar akan maksud kedatangan Belanda ke Pangkajene tersebut, akhirnya Karaeng La Sollerang Daeng Malledja tersebut benar-benar lari masuk hutan bersama dengan pengikut-pengikutnya. Karena tidak berada ditempat saat kedatangan wakil dari Pemerintah Hindia Belanda, akhirnya dia benar-benar dipecat dari jabatannya. Belanda kemudian mengangkat menjadi regent selaku penggantinya ialah La Pappe Daeng Massikki, putera dari La Abdul Wahab Mattotorangpage Daeng Mamangung. La Pappe Daeng Massikki ini sebagaimana juga disebutkan dalam sejarah kekaraengan Segeri memperistrikan seorang anak dari La Dongkang Daeng Mallontarang (saudara dari regent La Palambe Daeng Pabali), adik ipar dari Karaeng La Sollerang Daeng Malledja. Karaeng Pangkajene VIII ini diangkat oleh Gouvernement Belanda sebagai kepala regent Pangkajene dari tahun 1857-1885. Di masa pemerintahannya, kondisi Pangkajene aman, tenteram dan mengalami kemajuan. Karaeng Pangkajene ini membentuk kesullewatangan anggota hadat yang berkedudukan di Pagang yang meliputi Kampung Soreang, Pareang dan Kalibone, selain juga berjasa dalam meredam huru hara yang dipimpin oleh Karaeng Bonto-Bonto melawan Gouvernement Hindia Belanda sehingga diberikan hadiah berupa sebilah pedang dan tombak, dalam tahun 1878. La Pappe Daeng Massikki berpulang dalam tahun 1885 dan digantikan oleh puteranya, Karaeng La Bapa Daeng Masalle, menjadi kepala regent di Pangkajene dari tahun 1885-1893, yang diangkat menjadi wakilnya (Sullewatang) adalah adiknya Karaeng La Djajalangkara Daeng Sitaba. Selepas jabatannya di Pangkajene, La Bapa Daeng Masalle diangkat menjadi regent di Labakkang pada tahun 1893-1923. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengangkat regent Pangkajene adik kandung dari La Bapa Daeng Masalle, yaitu La Djajalangkara Daeng Sitaba pada tanggal 15 oktober 1893. Di masa pemerintahannya, sering terjadi peperangan dan huru hara dalam negeri. Setelah selesai peperangan di Bone dalam tahun 1905, daerah kekuasaan kekaraengan Pangkajene diperluas dengan mencakup pula Bungoro. Pada tahun 1918 Djajalangkara Daeng Sitaba berhenti selaku regent Pangkajene dengan surat penetapan Gubernur Celebes dan daerah takluknya tertanggal 11 Mei 1918 No. 86/XIX (Benny Syamsuddin, 1989 dalam Makkulau, 2007). Menggantikan La Djajalangkara Daeng Sitaba menjadi Karaeng Pangkajene ialah puteranya yang bernama Andi Mauraga Daeng Malliungang menurut Besliut Gubernur Celebes dan Daerah takluknya tanggal 31 Mei 1918 No. 95/XIX. Pemakaian gelar “Andi” di masa pemerintahan Karaeng Pangkajene XI ini sudah mulai popular, mengikuti perkembangan pemakaian gelar Andi di Gowa dan Bone. Pada waktu itu juga Bungoro dipisahkan dari Pangkajene dan dijadikan kembali selaku Kekaraengan tersendiri, sementara gelar regent juga dihapuskan dan diganti dengan sebutan “Karaeng adatgemeenschap”. Karaeng Pangkajene ini juga pernah menjabat sebagai Controleur Pangkajene (Notemboon). Karena berjasa kepada Pemerintah Belanda, Andi Mauraga Daeng Malliungang mendapat bintang penghargaan besar Gouvernament General pada tanggal 24 Agustus 1931. Karaeng Pangkajene Andi Mauraga Daeng Malliungang juga sempat mengalami pahit manisnya pemerintahan pendudukan Jepang. Ketika itu Belanda secara de facto menyerah kepada serdadu Dai Nippon dan Jepang mengambil alih kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia dari tahun 1942-1945. Di awal pendudukan Jepang di Sulawesi Selatan, Negeri Pangkajene mengalami kekacauan, disana sini marak perampokan, kejahatan, pembunuhan dan pemerkosaan. Karaeng Pangkajene ini aktif mencegah kejahatan dan kekecauan tersebut. Waktu itu, oleh pemerintahan Dai Nippon, kekaraengan adatgemeenschap Pangkajene diubah namanya menjadi Keresidenan Pangkajene. Beliau ini meninggal dalam suatu kecelakaan mobil, Selasa, tanggal 23 Maret 1942, diperbatasan Pangkajene-Bungoro saat dalam perjalanan hendak menemui Karaeng Labakkang di Labakkang. Karaeng ini mendapat gelar anumerta Matinroe ri Otona (Karaeng Ilangi ri Otona). Andi Mauraga Daeng Malliungang digantikan oleh puteranya yang bernama Andi Burhanuddin. Sehingga terhitung mulai Rabu 24 Maret 1942 resmilah Andi Burhanuddin menjabat sebagai Residen (Karaeng Pangkajene). Sebelum Andi Burhanuddin menjabat sebagai Karaeng/residen Pangkajene (1942-1946), beliau telah dibekali dengan pendidikan dan pengalaman yang cukup oleh ayahnya, Andi Mauraga Daeng Malliungang. Beliau menamatkan pendidikan di sekolah peninggalan Belanda, Midddelbare Uitgebruik Lagere Schaa Onderwijs (MULO) dan Algemeene Middelbare School (AMS) di Jawa sebelum diamanahi kedudukan sebagai pejabat diperbantukan pada Kantor Controleur Pangkajene (1935-1937), Wakil Karaeng Adatgemeenschap Pangkajene (1937) dan Sullewatang (Raja Muda) pada Kantor Karaeng Adatgemeenschap Pangkajene (1938), Klerk pada Kantor Landschapskassen Makassar (1939-1942). Paman dari Andi Burhanuddin, Andi Mattotorangpage Daeng Mamangung, (Bestuur Assisten Klas I) naik menggantikan kemenakannya Andi Burhanuddin sebagai Residen (Karaeng Pangkajene). Andi Burhanuddin meletakkan jabatannya sendiri pada Hari Minggu tanggal 6 April 1946 karena tidak mau kompromi dan bekerjasama dengan Belanda. Andi Mattotorang Daeng Mamangung selaku pejabat kekaraengan Pangkajene yang diangkat oleh Pemerintah NICA, kemudian menjelang satu tahun lamanya menjadi Karaeng Pangkajene terjadi kekacauan, kemiskinan dan kelaparan terjadi dimana-mana disebabkan daerah ini pernah dilanda banjir selama tujuh hari tujuh malam yang menyebabkan semua hasil pertanian tidak dapat dinikmati. Rakyat Pangkajene ketika itu sangat menderita. Setelah berakhir masa jabatan Andi Mattotorangpage Daeng Mamangung (Karaeng Bodo-Bodoa) sebagai Karaeng Pangkajene, maka diadakanlah verklaring underlyk (pemilihan) sebelum menetapkan Karaeng Pangkajene penggantinya, dengan 4 calon, yakni : Andi Muri Daeng Lulu, Andi Hasan Daeng Pawawo, Andi Latif Daeng Massikki, dan Andi Jaya. Andi Muri Daeng Lulu naik sebagai Karaeng Pangkajene menggantikan Andi Mattotorangpage Daeng Mamangung setelah dalam pemilihan beliau berhasil mengumpulkan 100 suara, sementara calon lainnya Andi hasan Daeng Pawawo dan Andi Latif Daeng Massikki masing-masing hanya 4 suara, sedang Andi Jaya tidak memperoleh suara satupun. Pada tanggal 23 Agustus 1947, Andi Muri Daeng Lulu resmi dilantik sebagai Karaeng Pangkajene oleh Pemerintah Republik Indonesia karena pada waktu itu kita sudah berada di dalam kemerdekaan, dua tahun sesudah diproklamirkannya kemerdekaan RI. C. Pangkep pada Masa Kerajaan Siang Kuna Siang dalam nomenklatur Portugis disebut Sciom atau Ciom. Nama “Siang” berasal dari kata kasiwiang, yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a' un souverain). (Pelras, 1977: 253). Bekas pusat wilayah Kerajaan Siang, SengkaE sekarang ini terletak di Desa Bori Appaka, Kecamatan Bungoro, Pangkep telah dikunjungi oleh kapal-kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548. (Fadhillah, 2000). Pelras (Abidin, 1986), mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada sumber Eropah dalam peta Portugis bertarikh 1540. Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Tallo pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa, dan Gowa sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang lebih besar dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004). Sumber Portugis menyebutkan Siang pernah diperintah seorang raja bernama Raja Kodingareng (Gadinaro, menurut dialek orang Portugis), sezaman dengan Don Alfonso, Raja Portugal I dan Paus Pascal II. (Abidin, 1986). Kerajaan Siang adalah sebuah pusat perdagangan penting dan sangat mungkin dan juga secara politik antara abad XIV hingga abad ke XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang dulunya dikenal Lima’e Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan kerajaan Makassar yakni Gowa dan Tallo. Dari segi wilayah pemerintahan dan pengaruh kekuasaan, jelas lebih besar pengaruh dan kekuasaan kerajaan Siang delapan abad lampau dibandingkan wilayah daerah yang sekarang dikenal bernama Kabupaten Pangkep. Raja-raja keturunan Gowa dan Tallo adalah merupakan turunan dari raja-raja Siang. Kerajaan Siang 200 tahun lebih tua dari kemunculan Gowa-Tallo. Penurunan pengaruh Siang dalam catatan Portugis disebutkan karena penyempitan pelabuhannya yang diakibatkan oleh aktivitas pendangkalan dan erosi yang berlangsung sangat lama sehingga tak ramai lagi dikunjungi para pedagang dari sebelah barat kepulauan nusantara. (Abidin, 1999). Gowa dan Tallo pernah dibawa dominasi Siang, nanti pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumapakrisika Kallonna menjadikan Siang sebagai palili lewat strategi kawin mawin. Penerus Dinasti Siang di sebelah utaranya, Barasa juga tidak berumur lama karena tak lama juga ditaklukan oleh Gowa dengan bantuan laskar Labakkang. Kebangsawanan Barasa ini adalah yang menjadi cikal bakal berdirinya kakaraengan di Pangkajene, dipenghujung abad XVII yang awal abad XVIII. (Kaseng, 1985 dalam Abidin 1999). Dalam pemerintahan kerajaan, ada jabatan atau pangkat yang disebut “bate-anak-karaeng”. Awalnya “bate-anak-karaeng” merupakan daerah-daerah itu kalahkan dan menjadi daerah takluk Kerajaan Gowa. Lalu daerah-daerah itu dihadiahkan oleh Raja Gowa kepada salah seorang anak karaeng atau anak raja/anak bangsawan. “Anak Karaeng” inilah yang menjadi raja kecil atau penguasa di daerah “bate-anak-karaeng”. Semua rakyat di daerah itu harus tunduk dan melaksanakan perintah “anak karaeng” yang menjadi raja kecil/kerajaan bawahan Gowa tersebut. Kerajaan-kerajaan (kekaraengan) kecil di Pangkep dipimpin oleh Bate-Bate’a yang masih punya hubungan kekerabatan langsung dengan keluarga Kerajaan Gowa sebagaimana halnya dengan Kerajaan Labakkang. Lain halnya dengan Segeri, kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan Luwu yang berkuasa di Kerajaan Tanete, disebabkan rakyat Segeri sendiri yang memintanya. Diantaranya, La Maddusila Karaeng Tanete yang memperanakkan La Patau, yang memperistri Besse Tungke, yang melahirkan putera-puteri, diantaranya La Sameggu Daeng Kalebbu. Menurut Razak (dalam Makkulau, 2008), silsilah raja-raja Siang setelah tampuk pemerintahan Siang dipegang Karaengta Allu (setelah Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa) adalah sebagai berikut: 1. Karaengta Allu; 2. Johor atau Johoro’ (Mappasoro) Matinroe’ ri Ponrok, yang bersama Arung Palakka ke Pariaman pada abad XVII; 3. Patella Daeng Malliongi; 4. Pasempa Daeng Paraga; 5. Mangaweang Daeng Sisurung; 6. Pacandak Daeng Sirua (Karaeng Bonto-Bonto); 7. La Palambe Daeng Pabali (Karaeng Tallanga), sezaman dengan datangnya Belanda di Pangkajene; 8. Karaeng Kaluarrang dari Labakkang; 9. Ince Wangkang daru Malaka; 10. La Sollerang Daeng Malleja; 11. La Pappe Daeng Massikki, berasal dari Soppeng; 12. La Bapa Daeng Masalle; 13. La Djajalangkara Daeng Sitaba; 14. La Mauraga Daeng Malliungang; 15. Andi Burhanuddin; 16. Andi Muri Daeng Lulu. Produk sistem kawin mawin Kerajaan Gowa dengan keluarga kerajaan-kerajaan kecil dalam wilayah Kerajaan Siang serta pengaruh Kerajaan Bone serta Kerajaan-kerajaan dalam wilayah semenanjung timur Sulawesi sebagai kerajaan-kerajaan yang pernah menancapkan pengaruhnya pada daerah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Pangkep, yang membuat daerah ini dihuni oleh etnis Bugis Makassar dalam satu wilayah. D. Stratifikasi Sosial Bangsawan Pangkep Bagi para sosiolog seperti Karl Marx dan Max Weber (Aron, 1968) melihat adanya perbedaan sosial yang muncul dalam masyarakat secara vertikal. Ia kebanyakan bertumpu pada sudut pandang ketidaksamaan derajat (inequality) yang timbul karena perbedaan ekonomi semata. Seorang antropolog mencoba menekuni persoalan serupa dengan pandangan yang lebih jauh dan mendalam. Ia tidak hanya melihat kepada suatu persoalan yang bertumpu kepada ketidaksamaan vertical belaka, seperti hanya melihat perbedaan ekonomi saja, akan tetapi, dia ingin mencari sesuatu yang tidak universal dalam perbedaan vertikal. Menurut Rahman (1988), bangsawan terdiri atas : a. Puang ressu (Ranuh) Lapisan ini mempunyai kadar darah “bangsawan” dalam perhitungan simbolik, disebut manassa ressu’ (benar-benar ranuh’). Ia merupakan hasil dari perkawinan antara seseorang ayah dengan ibu yang masing-masing mempunyai kadar darah melabu tongan (utuh dan sempurna). b. Puang sangnging (murni) Lapisan ini mempunyai kadar darah “bangsawan” dalam perhitungan simbolik yang disebut sangnging. Ia merupakan hasil perkawinan antara seorang ayah dengan ibu yang masing-masing pihak mempunyai kadar darah sangnging. Dapat juga terjadi bila ayah berkadar darah ressu’ dan ibu berkadar darah sangnging atau sebaliknya. c. Puang tallupparapa (tiga perempat) Lapisan ini memiliki kadar darah “bangsawan” dalam perhitungan simbolik di sebut tallupparapa. Ia merupakan hasil perkawinan antara ayah dengan ibu yang masing-masing berkadar darah tallupparapa’. Dapat juga terjadi sebagai hasil perkawinan antara seorang ayah yang berkadar darah “bangsawan” ressu’ atau sangnging dengan seorang ibu yang berkadar darah separapa’ (seperempat) ataupun sebaliknya. d. Puang sassigi (setengah atau separuh) Lapisan ini memiliki kadar darah “bangsawan” dalam perhitungan simbolik yang disebut sassigi’. Ia merupakan hasil perkawinan antara seorang ayah dengan seorang ibu yang masing-masing memiliki perhitungan kadar darah sassigi. Dapat juga terjadi bila ayah memiliki perhitungan kadar darah tallupparapa’ dan ibu separapa’ atau sebaliknya. Ia juga merupakan hasil perhitungan kadar darah ressu’ atau sangnging dengan ibu yang memiliki kadar darah biasa tanpa perhitungan kadar darah tetapi bukan budak. e. Puang separapa’ (seperempat) Lapisan ini memiliki kadar darah “bangsawan” dalam perhitungan simbolik yang disebut separapa’. Ia merupakan perkawinan hasil perkawinan antara seorang ayah dengan seorang ibu yang masing-masing mempunyai perhitungan kadar darah separapa’. Ia juga merupakan hasil perkawinan antara seorang ayah yang mempunyai kadar darah sassigi’ dengan ibu tanpa perhitungan kadar darah tetapi bukan budak. f. Puang sallesor atau salleso’ (kurang dari seperempat) Lapisan ini memiliki kadar darah “bangsawan” dalam perhitungan simbolik yang disebut sallessor atau sallego’. Ia merupakan hasil perkawinan antara seorang ayah dengan seorang ibu yang masing-masing mempunyai perhitungan kadar kurang dari seperempat. Ia juga dapat terjadi bila perkawinan antara seorang ayah yang memiliki kadar darah separapa’ dengan seorang ibu yang tidak memiliki perhitungan kadar darah tetapi bukan budak. g. Puang dipisupai anna sarombong (nanti digosok baru menghasilkan bau harum) Lapisan ini memiliki kadar darah “bangsawan” dalam perhitungan simbolik disebut dipisupai anna sarombong. Ia merupakan hasil dari perkawinan yang terjadi bila seorang ayah dengan seorang ibu yang masing-masing mempunyai kadar darah dalam perhitungan kurang dari darah sallesor. Dapat juga terjadi dari hasil perkawinan antara seorang ayah yang memiliki kadar darah sallesor kawin dengan seorang ibu yang tidak memiliki perhitungan kadar darah tetapi bukan budak dan sebaliknya. Menurut Friedericy (dalam Koentjaraningrat, 2002), dulu ada tiga lapisan pokok, yaitu : (1) ana, karung (ana’ karaeng dalam bahasa Makassar) ialah lapisan kaum kerabat raja-raja, (2) to-maradeka adalah lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan, dan (3) ata’ (Budak/buruh) adalah orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat. Kelompok pertama dalam masyarakat dibagi menjadi dua, yakni kelompok yang terdiri dari anggota keluarga raja dan kelompok yang terdiri dari bukan keluarga raja, yang mencakup para kepala-kepala daerah dibawah raja. Kelompok ini kembali dibagi dalam keturunan bangsawan tinggi dan rendah, dan kembali dipisahkan pada bangsawan lapisan bawah dan terbawah. Keturunan raja, kelompok kerabat raja, ana’-karaeng dibagi lagi dalam empat kelompok, yaitu ana’ ti’no (anak yang merupakan keturunan langsung dari raja), ana’ sipuwe (anak yang berdarah setengah bangsawan), ana’ cera’ (anak kandung), ana’ karaeng sala (bukan anak raja yang benar-benar). Ana’ ti’no adalah keturunan raja dari darah yang paling murni, atau mereka yang memiliki ana’ ti’no yang berasal dari ayah atau dari ibu, atau salah satu orang tuanya adalah ana’ ti’no dan yang lain adalah pangeran atau puteri darah termurni dari dinasti yang sama, seperti juga kerajaan Bone dan Sindereng. Ana’ Ti’no (Bugis : “anak matase”) merupakan anak laki-laki yang dihubungkan dengan hak untuk menggantikan tahta pemerintahan dibagi menjadi ana’ patola atau anak pengganti dan anak manrapi (anak angkat). Ana’ patola adalah putera, saudara dan kemenakan dari raja yang memerintah sedang Ana’ manrapi adalah ana’ ti’no laki-laki yang bila tidak ada lagi orang-orang dari kalangan ana’ patola dapat dipertimbangkan menjadi raja. Selain itu dikenal pula ana’ sipuwe adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan ana’ ti’no laki-laki dengan golongan menengah (tomaradeka) wanita. Orang dapat membagi ana’ sipuwe manrapi, yang artinya bahwa seseorang disini hanya dapat dianggap sebagai ana’ manrapi dari salah satu garis keturunan saja, misalnya ayah, dan kelompok Daeng-Daeng, yang merupakan orang-orang yang dipandang rendah tingkatannya dalam ana’ manrapi. Sementara Ana’ cera adalah keturunan dari pria ana’ ti’no atau ana’ sipuwe dengan budak wanita, atau lebih jelasnya, anak cera adalah anak raja yang ayahnya dari golongan “anak karaeng ti’no” (baik anak pattola maupun anak manrapi’ atau anak sipuwe, baik anak sipuwe manrapi maupun anak sipuwe) tetapi ibunya dari golongan ata (budak). Yang dimaksud ana’ karaeng sala adalah hasil hubungan seorang pria ana’ sipuwe atau ana’ cera’ dengan seorang “ata” (budak wanita), atau bisa juga merupakan kalangan dari pria ana’ cera’ dengan wanita dari kalangan menengah. Mengingat begitu rendahnya tingkatan mereka, maka mereka dikatakan sebagai bukan asli anak bangsawan dan mereka tidak lagi dapat dianggap sebagai bangsawan/keturunan bangsawan. Dalam usahanya untuk mencari latar belakang terjadinya pelapisan masyarakat, Friedericy berpedoman kepada peranan tokoh-tokoh yang disebut dalam La Galigo dan ia berkesimpulan, bahwa masyarakat Bugis dan Makassar pada mulanya hanya terdiri dari dua lapisan masyarakat. Lapisan Ata merupakan suatu perkembangan kemudian yang terjadi dalam zaman perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan. Pada abad ke-20 lapisan ata dihilangkan karena larangan dari pemerintah kolonial dan desakan dari tokoh agama setempat. Sesudah perang dunia ke-2, arti dari perbedaan antara lapisan karaeng, to maradeka, dan ata semakin berkurang. Dalam kehidupan masyarakat juga sudah mulai berkurang dengan cepat, walaupun masih dipakai, akan tetapi tidak lagi mempunyai arti seperti masa lalu (fase tradisional dan fase Islam modern). Pada masa sekarang, makna stratifikasi sosial pada etnis Bugis dan Makassar justru sering diperkecil dengan sengaja. Sebab stratifikasi sosial lama, sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan. Sedangkan stratifikasi sosial masyarakat Sulawesi Selatan menurut Mattulada (1985) memberikan peranan dalam kehidupan, bukan hanya menurut penjiwaan. Pada umumnya persekutuan orang Bugis berdasarkan prinsip genealogis atau persekutuan kekerabatan, sehingga orang Bugis dan Makassar tidak terlalu terikat kepada wilayah tertentu dalam mencari nafkah. Karena dimana saja mereka berkumpul bersama-sama dalam suatu persekutuan genealogis seperti dijumpai adanya: (1) Ajjoareng (orang yang menjadi pemimpin) bernama Arung (Bugis) dan Ponggawa (Makassar) adalah tokoh yang dijadikan sumbu kegiatan integratif dan perkembangan hidup kebudayaan secara keseluruhan. Sejak Kerajaan Bone kehilangan kedaulatannya pada tahun 1950 istilah ajjoareng (pemimpin) tidak lagi berarti aparat kekuasaan pemerintahan formal, (2) Joa (pengikut) pada zaman dulu terdiri atas lapisan masyarakat maradeka (merdeka) yang menunjukkan kesetiaan kepada ajjoareng (pemimpin). Dalam proses integrasi kegiatan antar lingkaran pusat dan lingkaran di luarnya diatur oleh Pangadereng (pedoman hidup) yang meliputi semua lingkaran kehidupan. Sekarang tidak ada lagi arung (Bugis) atau pampawa ade (penjaga adat) dalam arti ajjoareng (pemimpin), namun puncak piramida sosial diduduki oleh kelompok elite baru yang terdiri atas aparat kekuasaan negara, seperti gubernur dan bupati/walikota, golongan cendekiawan, militer dan pemilik modal. Setelah masa penjajahan Belanda golongan elite kembali menempati kedudukan elite yang baru, dengan komposisi elite inilah yang berlangsung sampai kemerdekaan RI, sebagai berikut: (1) Kaum Anakarung (bangsawan) yang setia kepada Belanda dan golongan bangsawan yang berpendidikan (ambtenaar) sebagai kelas utama. (2) Kaum ambtenaar gubernermen, kalangan cendekiawan yang mendapatkan pendidikan formal dan kalangan ulama Islam/adat serta pemimpin gerakan sosial sebagai kelas menengah. (3). Kaum hartawan, pedagang dan pengusaha, sebagai elite kelas dasar. Terbukanya peluang untuk menjadi elite bagi setiap lapisan masyarakat menyebabkan munculnya berbagai pengelompokan elite di Sulawesi Selatan. Setiap elite membentuk kelompok sesuai dengan profesinya. Ada kelompok militer, pengusaha, partai politik, suku, bangsawan, ulama dan berbagai kelompok elite lainnya. E. Kerangka Pikir Suatu yang hal tidak dapat disangkal bahwa umumnya masyarakat di Sulawesi Selatan, belum banyak yang mengetahui tentang terciptanya Onderafdeeling di Sulawesi Selatan, yang didasari oleh daerah-daerah yang direbut dan dikuasai langsung oleh Belanda. Penguasa-penguasa pada daerah-daerah tersebut berstatus sebagai “raja tanpa mahkota” (Onttroonde Vorsten). Para karaeng maggau’ (arung maggaue’) itu diberi gelar Regent oleh Pemerintah Hindia Belanda. (Syamsuddin, 1985 dalam Makkulau 2007). Dalam perkembangan selanjutnya. Daerah Pangkep merupakan salah satu wilayah Onderafdeeling atau Locale Ressorten yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi yang dalam pertumbuhannya berubah menjadi Daerah Swatantra Tingkat II atas dasar UU No. 29 Tahun 1959 dan seterusnya berubah nama menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Pangkep (Kabupaten Dati II Pangkep) sampai dengan tahun 1999. Pada mulanya kekaraengan Pangkajene tersebut bermula dan berasal dari kebangsawanan Barasa, yaitu sebuah wilayah yang sekarang masuk dalam lingkungan Kampung Baru-Baru Towa. Menurut Friedericy (dalam Koentjaraningrat, 2002), dulu ada tiga lapisan pokok, yaitu : (1) ana, karung (ana’ karaeng dalam bahasa Makassar) ialah lapisan kaum kerabat raja-raja, (2) to-maradeka adalah lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan, dan (3) ata’ (Budak/buruh) adalah orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat. Kabupaten Pangkep mayoritas dihuni oleh dua etnis yakni etnis Bugis dan Makassar. Oleh karena itu gelar bangsawan yang ada di Pangkep yaitu gelar puang yang diberikan kepada keturunan bangsawan Bugis dan Karaeng diberikan kepada keturunan bangsawan Makassar. Keberadaan gelar bangsawan pada saat ini mengalami perubahan, dari kebangsawanan karaeng (Makassar) dan arung atau puang (Bugis) ke jabatan, pangkat, dan kedudukan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema berikut: Gambar 1. Skema Kerangka Pikir BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan pada masyarakat Pangkep yang bertujuan mengetahui eksistensi gelar bangsawan di masa pemerintahan kerajaan dan masa otomi daerah. Moleong (2008) mengemukakan bahwa “karakteristik penelitian kualitatif di antaranya adalah (1) berlangsung di latar alamiah, (2) membatasi permasalahan yang diteliti, (3) menempatkan manusia sebagai alat atau instrumen penelitian, (4) analisis datanya dilakukan secara induktif, (5) mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan kutipan data, (6) dalam melaksanakan penelitian lebih mementingkan proses dari pada hasil, (7) pembuatan desain penelitian bersifat sementara dalam arti menyesuaikan dengan kenyataan di lapangan, (8) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama antara peneliti dengan tokoh masyarakat yang dijadikan sumber data”. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di daerah Kabupaten Pangkep. B. Deskripsi Fokus Penelitian Untuk memudahkan pengamatan dan konseptualisasi fokus penelitian, maka fokus tersebut perlu dideskripsikan secara kongkrit, spesifik dan operasional yaitu eksistensi gelar bangsawan adalah keberadaan gelar bangsawan yang terdiri dari puang dan karaeng di masa pemerintah kerajaan dan masa pemerintahan otonomi daerah. C. Jenis Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Data primer adalah data yang dijaring melalui tehnik wawancara mendalam antara peneliti dan informan. 2. Data Sekunder adalah data yang didapatkan dari dinas atau instansi terkait, baik langsung atau secara tidak langsung dengan penelitian ini. Sumber data tersebut mempunyai data dasar tentang gambaran sejarah kebangsawan di pangkep, keadaan geografis, demografi, sarana dan prasarana. D. Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri sebagai pengamat dan pewawancara. Sebagai peneliti dan instrumen utama dalam penelitian ini, maka dimulai dari perencanaan, pengumpulan dan analisis data sehingga penulisan laporan penelitian ini seluruhnya dilakukan oleh peneliti. Sedangkan dalam mendukung tercapainya hasil penelitian digunakan alat bantu berupa pedoman wawancara, dokumentasi dan pencatatan hasil penelitian. E. Informan dan Sumber Data Penelitian Sumber data dalam penelitian ini adalah orang yang mengetahui eksistensi gelar bangsawan di Pangkep. Lebih rinci, informan dan sumber data diuraikan sebagai berikut: 1. Keturunan raja yang masih ada di Pangkep; 2. Tokoh masyarakat yang mengetahui tentang eksistensi gelar bangsawan di Pangkep; 3. Dinas Kebudayaan Kabupaten Pangkep; F. Tehnik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Wawancara tidak terstruktur dan mendalam ini dilakukan terhadap informan dengan maksud untuk mendapatkan keterangan yang sesungguhnya mengenai eksitensi gelar bangsawan di Pangkep pada masa pemerintahan kerajaan dan otonomi daerah. 2. Observasi yaitu mengadakan pengamatan secara langsung tentang eksistensi gelar bangsawan di Pangkep. 3. Dokumentasi adalah sumber data tertulis yang memberi informasi tentang gelar bangsawan dari masa pemerintahan kerajaan sampai pemerintahan otonomi daerah. G. Analisis Data Data yang diperoleh dari permasalahan pertama dianalisis dengan menggunakan analisis dekriptif dari awal sampai akhir penelitian, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Mencatat semua temuan kenyataan di lapangan melalui observasi. Wawancara dan telaah dokumen, dalam bentuk catatan lapangan; 2. Menelaah kembali catatan hasil observasi, wawancara dan studi dokumentasi, serta memisahkan data yang dianggap penting dan tidak penting; 3. Membuat analisis akhir yang memungkinkan dalam bentuk laporan untuk kepentingan penulisan akhir penelitian. 4. Keabsahan data dilakukan dengan triangulasi: (1) triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, (2) triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda, dan (3) triangulasi waktu yang dilakukan dengan cara melakukan mengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Andi Zainal. 1999. Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang : Hasanuddin University Press. Ali Fadillah, Moh. & Mahmud, M. Irfan. 2000. Kerajaan Siang Kuna-Sumber Tutur, Teks dan Tapak Arkiologi. Makassar : Balai Kajian Arkeologi Makassar dan Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Andaya, Laonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka, Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII (Terjemahan), Makassar : Ininnawa. Aron, Rymond. Main Currents in Sociological Though I. New York : A. Doubleday Anchor Book. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1981. Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Selatan.Ujung Pandang : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Koenjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Jakarta : Jambatan. Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Makassar : Pustaka Refleksi. Marszuki, Laica. 1995. Siri' : Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, sebuah Telaah Fisafat Hukum. Makassar : Hasanuddin University Press. Mattulada. 1985. Latoa, Ssuatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. ________. 1996. Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan, Anonim. ________. 1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang : Universitas Hasanuddin. Moleong, Lexy J. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda. PaEni, Mukhlis. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia-Sistem Sosial. Jakarta : Rajawali Pres. Pelras, Christian. 1977. Sumber Kepustakaan Eropa Barat, Mengenai Sulawesi Selatan: Dies Natalis ke XXI Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin. ________. 2006. Manusia Bugis (Terjemahan). Jakarta : Nalar, Forum Jakarta-Paris Ecole Francaise d'Extreme-Orient. Poelinggomang, Edward L. & Mappangara, Suriadi. 2004. Sejarah Sulawesi Selatan, Jilid 1 & 2.Makassar : Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sulawesi Selatan. Poesponegoro, Marwati Djoened. & Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III.Jakarta : Balai Pustaka. Rahman, Darmawan Mas'ud. 1988. Puang dan Daeng, Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balangnipa Mandar (Desertasi tidak diterbitkan). Makassar : PPs Universitas Hasanuddin. Rahman, Darmawan Mas'ud., Kaluppa, Bahru. & Husain, Abd. Rifai. 1994. Taman Purbakala Sumpang Bita Di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan.Ujung Pandang : Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Rasuly, Muhammad Nur. 1984. Monografi Kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. Makassar : Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. ________. 1984. Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan. Makassar : Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah: Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta : Serambi. Saransi, Ahmad. 2003. Inventaris Arsip Pemerintah Kabupaten Tingkat II Pangkep 1947-1979, Volume 1. Makassar : Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.Jakarta : Rajawali Pres. Undang-Undang No. 29/1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Propinsi Sulawesi Selatan. PEDOMAN WAWANCARA 1. Bagaimana sejarah daerah Pangkep? 2. Bagaimana sejarah kekaraengan Pangkajene? 3. Bagaimana sejarah kekaraengan Bungoro? 4. Bagaimana sejarah kekaraengan Balocci? 5. Bagaimana sejarah kekaraengan Labakkang? 6. Bagaimana sejarah kekaraengan Ma,rang? 7. Bagaimana sejarah kekaraengan Sigeri? 8. Bagaimana sejarah kekaraengan Mandalle? 9. Bagaimana pertumbuhan pemerintaha pada masa pemerintaha kerajaan dan masa pemerintahan otonomi daerah? 10. Bagaimana eksistensi gelar bangsawan yaitu puang dan karaeng pada masa kini? PROPOSAL EKSISTENSI GELAR BANGSAWAN DI DAERAH PANGKEP (Sebuah Tinjauan Historiografi) MUH. ARSYAD RAHIM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGE RI MAKASSAR 2012 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Eksistensi Gelar Bangsawan di Daerah Pangkep (Sebuah Tinjauan Historiografis) Nama : Muh. Arsyad Rahim No. Pokok : 10B02050 Program Studi : Pendidikan IPS Kekhususan : Pendidikan Sejarah Makassar, Pebruari 2012 Disetujui Komisi Penasihat Prof. Dr. Andi Ima Kusuma, M.Pd. Dr. Syamsu A. Kamaruddin, M.Si. Ketua Anggota Mengetahui, Ketua Program Studi Direktur Pendidikan IPS Program Pascasarjana Kekhususan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar Prof. Dr. Andi Agustang, M.Si. Prof. Dr. Jasruddin, M.Si. NIP. 19631227 198803 1 002 NIP. 19641222 199103 1 002 DAFTAR ISI Halaman BAB I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 6 C. Tujuan Penelitian 6 D. Manfaat Penelitian 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 7 A. Eksistensi Gelar Bangsawan 7 B. Sejarah Kekaraengan Pangkep 7 C. Pangkep pada Masa Kerajaan Siang Kuna 15 D. Stratifikasi Sosial Bangsawan Pangkep 19 E. Kerangka Pikir 26 BAB III. METODE PENELITIAN 29 A. Jenis dan Lokasi Penelitian 29 B. Deskripsi Fokus Penelitian 30 C. Jenis Data 30 D. Instrumen Penelitian 30 E. Informan dan Sumber Data Penelitian 31 F. Teknik Pengumpulan Data 31 G. Analisis Data 32 DAFTAR PUSTAKA 34